Rabu, 29 Juli 2009

Solo Touring

Menjelang ulang tahun kelima si Blackironhorse dibawa jalan ke Bandung. Berangkat lewat jalur Jonggol, dan pulangnya lewat jalur Purwakarta. Perjalanan dimulai Sabtu, 25 Juli 2009 jam 09.30 WIB. Jalur yang dilewati adalah Jalan Raya Condet. Di jalan raya Conder berhenti di SPBU dekat kantor pos Condet. Kemudian lewat Jalan Raya TB. Simatupang. Sampai perempatan Pasar Rebo belok ke arah Jalan Raya Bogor, kemudian belok ke arah Cibubur, lupa nama jalannya. Secara umum jalur sampai Cibubur agak padat, maklum hari itu adalah Sabtu. Banyak orang yang pergi berlibur, terutama ke arah selatan (Bogor dan sekitarnya).

Sebenarnya perjalanan ini tidak direncanakan. Malam Sabtu, saya sempat bilang ke istri bahwa ada keinginan untuk pergi ke Bandung dengan mengendarai motor. Saat itu sempat tidak diizinkan. “Boleh, tapi pake bis”. Wah, kalau pake bis mah sama aja atuh. Kan tujuannya adalah silaturrahmi sekalian rekreasi dengan menikmati jalan dan pemandangan yang dilewati.

Sabtu pagi, tiba-tiba keinginan itu muncul lagi. Sekali lagi bilang ke istri, boleh ga pergi ke Bandung pake motor. Setelah hampir dua jam, akhirnya istri mengizinkan, “tapi harus hati-hati dan jangan ngebut” katanya. Sip. Akhirnya motor, perlengkapan dan pakaian ganti disiapkan. Tapi tunggu, ternyata isrti tersayang juga sibuk menyiapkan oleh-oleh untuk dibawa ke Bandung. Mmm… kue pukis, kue Lumpur, dan bolu kukus. Sip. Setelah mandi, semua di pack di atas motor. Makanan dan oleh-oleh special untuk Ibunda tersayang dimasukkan ke dalam box; jas hujan, toolkit, dan air minum masuk side bag; baju air minum yang lain masuk ke dalam tas yang ditaruh di atas jok motor.

Ternyata banyak juga bawaannya. Sebelum berangkat, sebenarnya agak ragu, karena kondisi motor yang kurang fit, ditambah kondisi badan juga agak kurang fit. Kepala agak sedikit pusing. Tapi karena sudah lama tidak mengendarai motor jarak jauh sejak kecelakaan pada Agustus 2007, keinginan untuk solo touring itu sangat kuat. Sekitar tiga hari sebelum berangkat, motor sering seperti over heat atau keabisan bensin, ndut-ndutan gitu, terutama setelah motor berlari lebih kurang 80 km/jam dengan jarak sekitar 5 atau 6 km. Aneh… padahal baru diservis dan ganti oli. O. ya, waktu ganti oli, mekaniknya lupa masang tutup oli yang dibawah, jadi waktu oli dituang, olinya keluar lagi. Lucu juga, baru kali pertama kejadian seperti ini. Lalu oli yang terbuang coba ditampung pake wadah bekas oli lain. Kemudian, karena oli yang baru ada yang terbuang, maka ditambahkan oli lagi. Nah ada kecurigaan, waktu ditambah oli, mungkin olinya kebanyakan (lebih dari 1 liter). Karena, kalo ga salah, kalo olinya kebanyakan, mesin jadi cepat panas.Benar saja, ketika hampir mendekati daerah Jonggol, motor jadi ndut-ndutan lagi. Akhirnya berhenti, tentunya di tempat yang aman dan pemandangan yang cukup indah. Tidak lupa ambil foto. Setelah lebih kurang lima menit, jalan lagi, dan alhamdulillah lancar. Tapi…. Setelah berjalan lebih kurang 15 menit “kebiasaan baru” itu terulang lagi. Akhirnya berhenti lagi. Kali ini berhenti di dekat warung. Kecurigaan beralih ke adanya kandungan air di dalam tanki, karena si blackironhorse ini sejak dibeli pada Oktober 2004 belum pernah dikuras. Selain itu, perjalanan selama 15 menit dengan tidak terlalu cepat seharusnya tidak membuat mesin cepat panas. O ya… posisi kran bensin selalu dalam keadaan res. Dugaan saat itu ada air yang masuk ke dalam karburator, dan menyebabkan pembakaran tidak sempurna.


Setelah berhenti, buka sarung tangan, buka helm, buka masker, buka jaket, dan terakhir buka pelindung siku. Kaos mulai basah dengan keringat. Mulailah membuka fairing sebelah kiri. Coba atur selang bensin, Karena ada dugaan juga selang bensin yang agak menekuk membuat aliran bensin tidak lancar. Setelah itu, kran bensin diputar ke posisi on. Dengan harapan besin yang mengalir ke karburator adalah bukan dari dasar tanki yang diduga mengandung air. Setelah selesai, tutup kembali fairing. Tidak lupa pekerjaan ini diakhiri dengan minum air yang memang kondisi saat cukup panas.

Mulailah pake pelindung siku, pakai jaket, pake masker, pakai helm, dan terakhir sarung tangan. Lima menit berlalu, 10 menit, 20 menit, eh…. “kebiasaan baru” itu tidak terulang. Wah benar nih, kalau begitu, ada air di dalam tanki. Karena sejak posisi kran bensin di on motor tidak ada masalah. Sip, tetapi tunggu, teratasinya masalah ini bukan berarti perjalanan tidak mendapat hambatan. Jalan jonggol ternyata banyak ruas yang rusak parah.

Pemandangannya sangat indah dengan hamparan sawah, mm..........

P

Dalam perjalanan Jonggol ke Cianjur berhenti beberapa kali, tidak lupa si blackrironhorse difoto dulu. Sampai di Ciranjang gerimis mulai turun. Tapi karena tidak kunjung hujan, diputuskan tidak usah berhenti dan tidak usah pakai jas hujan. Jalan terus. Tetapi ini malah menjadi keasikan tersendiri. Pernalanan jadi tidak mototon dan tidak membt ngantuk. Karena pada jalan rusak jadi terasa off road.

Menjelang Padalarang badan mulai terasa lelah. Jika sebelumnya berhenti karena ada masalah atau hanya sekadar menikmati pemandangan. Nah berhenti di tempat ini benar-benar karena sudah lelah. Berhenti di tempat ini cuma buka sarung tangan, helm dan masker. Lalu ambl air minum. Minum sepuasnya agar hausnya hilang. O ya, kan istri berpesan, “kalo lapar, kua lumpurnya makan aja”, ya udah, buka tas, lalu ambil satu kue, dan makan. Mmmm.

Setelah lebih kurang 15 menit. Mulai siap-siap meneruskan perjalanan, pake masker, helm lalu sarung tangan. Yes, badan sudah fit, sakit kepala yang dirasakan tadi pagi telah hilang. Di sepanjang perjalanan terus-menerus membaca Subhanallah, karena perjalanan ini sungguh membuat hati riang. Maklum sudah dua tahun tidak pernah jalan jauh lagi.

Masuk padalarang, jalur mulai padat, dan banyak sekali truk, sehingga perjalalan mulai melambat. Tapi sabar, ingat kata istri “hati-hati dan jangan ngebut”, Berbeda dengan perjalalan sekitar 2004, 2005 dan 2006, terutama sebelum menikah. Inginnya ngebut terus. Kalo ada truk atau bis yang menghalangi, tancap gas, lalu susul. Dulu sepertinya ga ada rasa takut. Tapi sekarang… ngga ah…… takut…….

Situ Ciburuy yang "laukna hese dipancing"

Sampai di Ciburuy berhenti sebentar, minum lalu ambil foto. Masuk Cimareme, hati semakin senang, wah akhirnya sampai juga. Eh… ternyata kok lama juga sampai rumah kakak di Bandung yang menjadi tujaun perjalalan kali ini. Mungkin karena sudah mulai cape, jadi jarak lebih kurang 20 km terasa jauh sekali. Setelah melewati Kota Cimahi, jam digital yang ada dekat speedometer mati. Akhirnya berhenti lagi untuk sekadar mengecek. Oh, ternyata baterainya goyang setelah motor melewati lubang. Setelah dibetulkan, jalan lagi. Wah, akhirnya sampai di Jalan Soekarno-Hatta. Sampai teriaku……… padahal perjalanan harus melewati Caringin, perempatan Kopo, Perempatan Cibaduyut-Leuwipanjang, dan Perempatan Cigereleng. Nah rumah kakak ada di jalan Mengger Girang, sekitar 200 m dari perempatan Cigereleng.

Sampai di rumah jam 15.30. orangtua tercinta sudah menunggu di teras rumah. Mereka baru lima hari di Bandung, setelah hari senin, 20 Juli 2009 dijemput kakak saya dari Lampung. Wah… lega sekali, kerinduan terobati, hati ini juga puas. Rasa lelah serasa hilang begitu saja.

Tapi sayang, hari senin, 27 Juli 2009 harus kembali bekerja. Jadi kesokan harinya sudah harus bergegas pulang ke Jakarta. Tetapi belum diputuskan jalur mana yang akan dilewati. Yang jelas tidak akan menggunakan jalur Jonggol lagi. Harus jalur lain. Pilihannya, jalur Sukabumi, Subang-Purwakarta, atau Padalarang-Purwakarta.

Malamnya, saya coba cerita pada kakak saya mengenai keadaan motor saya. Akhirnya direncanakan besok pagi tanki motor akan dikuras. Setelah pagi menjelang, mulailah si blackironhorse dioperasi. Buka fairing kiri kanan, bukan tutup aki, buka tutup filter, buka jok, cabut selang bensin, dan cabut kabel indikator bensin. Setelah tanki terlepas, coba diguncang-guncangkan sebentar, dengan harapan kotoran di dasar tangki akan terangkat. Setelah itu, besin dikeluarkan dan dimakukkan ke dalam jerigen. Tapi sebelumnya dimasukan ke dalam botol aqua dulu. Tapi aneh, warna bensin tetap biru dan tetap jernih. Tidak tampak ada kotoran dan air di dalamnya. Kemudian tangki dikocok-kocok lagi, dan bensin dikeluarkan. Hasilnya tetap sama. Aneh… padahal menurut teman-teman di milis HMPC tangki megapro jika sudah lama tidak dikuras akan sangat kotor, bahkan bensin di dalamnya menjadi seperti lumpur.

Lihat tuh, bensinnya masih berwarna biru jernih, padahal sudah dikocok-kocok, bahkan bensin yang ada dalam baskom sudah dijadikan "cairan pencuci". Kotorannya mengendam di pangkal fileter yang berbentuk batang.

Kemudian buka kran bensin, dan ternyata pada filter yang berbentuk batang berwarna kuning tua sepanjang sekitar 15 cm terdapat endapat kotoran. Tapi kotoran ini seperti pasir dan bubuk besi. Jadi jika bercampur bensin, tidak membuat bensin keruh, karena butirannya cukup besar. Setelah kotoran ini dibuang, filter dipasang kembali, dan kran dipasang pada tanki.

Nah sebelum tanki dipasang, bensin yang berada dalam jerigen dimasukan kembali ke dalam tanki. Sementara bensin yang berada di dalam baskom digunakan untuk membersihkan bagian-bagian motor dan bagian dasar tanki yang kotor. Sambil menyelam minum air gitu.

Setelah semuanya dipasang,lalu coba dihidupkan. Dan ternyata lancer …….. alhamdulillah …….. setelah itu siap-siap, packing barang-barang. Berharap perjalanan pulang kali ini lebih ringan. Tapi…… ternyata oleh-oleh yang dibawa ke Jakarta tidak kalah banyak saat berangkat. Wah.. ini menjadi perjalanan yang cukup seru. Sebelum berangkat, saat sarapan, saat pake baju, saat pake sepatu, masih menimbang-nimbang untuk memilih jalur yang akan diambil. Karena belum juga ada keputusan, ya sudah berangkat saja, keputusan nanti saja sambil jalan.

Setelah pamit pada orangtua dan semua keluarga yang saya cintai. Mulailah mengenakan perlengkapan seperti biasa. Karena bensin di dalam tanki berkurang, begitu sampai perempatan Cigereleng belok ke arah selatan, isi bensin dulu di SPBU dekat jalan tol Padaleunyi. Setelah itu perjalanan dimulai. Setelah hampir sampai di Cimareme, baru ada keputusan untuk mengambil jalur Padalarang (Tagogapu) ke arah Purwakarta.

Setelah melewati kepadatan Cimareme, kemudian belok ke kanan ke arah Tagog Apu. Aduh di sini macet sekali. Tetapi setelah itu….. mmmmmm… jalur kosong, jalanan aspal cukup bagus. Aduh senanngnya. Baru beberapa menit berjalan, karena pemandangan cukup indah, akhirnya diputuskan untuk berhenti. Tidak lupa mengambil kamera untuk mengabadikan momen ini. Setelah itu…… wah….. jalannya luar bisa, berliku dan bagus. Kendaraan tidak begitu banyak. Ini adalah perjalanan yang sangat memuaskan….. alhamdulillah…. Setelah sekian lama…..

Setelah sekian lama menelusuri jalan berliku, akhirnya sampai di Kota Purwakarta. Kota yang relatif tenang daripada Bandung, apalagi Jakarta. Tidak jauh sebelum belok ke arah Cikampek, sempat berhenti dulu untuk istirahat. Kemudian berjalan-jalan sebentar di pusat kota. Sayang momen ini tidak sempat diabadikan, karena langsung menelusuri jalanan menuju arah Cikampek. Jalur kali ini sungguh berbeda dengan jalur sebelumnya. Jalur ke Cikampek melalui Sadang relatif lurus, tetapi masih nyaman, karena kondisi jalan yang baik.

Singkat cerita sampailah di jalur menuju Karawang. Oleh karena, tidak banyak yang bisa diceritakan di jalur ini. Sampai di Kota Karawang sempat berhenti sebentar, dan kali ini sempat ambil gambar dengan kamera kecilku dari kado pernikahan ku pada 2006 lalu. Ah, kamera jadul, tapi tidak apa. Setelah rasa lelah mulai hilang, perjalanan pun dilanjutkan menuju Bekasi. Nah, di jalur inilah rasa lelah begitu terasa, karena kondisi jalan yang kurang baik. Hampir sepanjang jalan banyak aspal yang ditambal, sehingga permukaannya tidak rata.

Tapi ada hikmanya. Selain laju motor tidak bisa kencang, juga banyak “bertemu” biker yang menuju Jakarta. Itu terlihat dari plat motor mereka. Hampir semua biker yang bertemu di jalan selalu membawa boncenger, minimal seorang. Tapi juga yang bertiga dengan anak mereka, bahkan bayi mereka. Ketika beristirahat di Kota Bekasi, ada juga biker yang sepertinya melakukan perjalanan jauh. Mereka berempat (bersama dua anak mereka). Luar biasa, saya yang hanya membawa beban “tidak bergerak” aja, harus berhenti untuk beristirahat beberapa kali.

O ya, waktu kecelakaan pada Agustus 2007, ibu jari kanan luka dalam cukup parah. Rasa sakit jika ditekuk ke dalam baru hilang dalam waktu hampir satu tahun. Nah waktu melalukan perjalanan kali ini, tangan kanan serasa terlalu cepat lelah menggenggam. Waktu berhenti di Kerawang, coba ibu jari tangan kanan diraba, terutama pada bagian yang pernah sakit. Dan ternyata, agak sakit, dan bunyi krek-krek di ruas kedua kambuh lagi. Oh… ternyata ini adalah luka dalam yang cukup parah.

Karena selelah melalui jalur Karawang-Bekasi yang membosankan, akhirnya sampai juga di Jakarta, hampir pukul 16.00. Rasa lelah serasa hilang, saat memasuki pagar rumah, istri dan putriku tercinta menyambutku dengan rasa kangen.

Inilah sedikit kisah perjalanan kali ini, walaupun Cuma 375 km, tetapi sangat memuaskan. Nanti, jika ada waktu, dan tentunya jika direstui istri, tentu akan ada kisah perjalanan yang lainnya.

Blackironhorse

Blackironhorse, begitu saya menamai motor megapro yang saya miliki sejak Oktober 2004.

Senin, 15 Juni 2009

HEBATNYA PEREMPUAN NUSANTARA: Martha Christina Tiahahu

Martha Christina Tiahahu dilahirkan di Abubu Nusalaut pada 4 Januari 1800 merupakan anak sulung dari Kapitan Paulus Tiahahu dan masih berusia 17 tahun ketika mengikuti jejak ayahnya memimpin perlawanan di Pulau Nusalaut. Pada waktu yang sama Kapitan Pattimura sedang mengangkat senjata melawan kekuasaan Belanda di Saparua. Perlawanan di Saparua menjalar ke Nusalaut dan daerah sekitarnya.

Pada waktu itu sebagian pasukan rakyat bersama para Raja dan Patih bergerak ke Saparua untuk membantu perjuangan Kapitan Pattimura sehingga tindakan Belanda yang akan mengambil alih Benteng Beverwijk luput dari perhatian. Guru Soselissa yang memihak Belanda melakukan kontak dengan musuh mengatasnamakan rakyat menyatakan menyerah kepada Belanda. Pada 10 Oktober 1817 Benteng Beverwijk jatuh ke tangan Belanda tanpa perlawanan.

Sementara di Saparua pertempuran demi pertempuran terus berkobar. Oleh karena semakin berkurangnya persediaan peluru dan mesiu pasukan rakyat mundur ke pegunungan Ulath-Ouw. Di antara pasukan itu terdapat pula Martha Christina Tiahahu beserta para Raja dan Patih dari Nusalaut.

Pada 11 Oktober 1817 pasukan Belanda di bawah pimpinan Richemont bergerak ke Ulath, namun berhasil dipukul mundur oleh pasukan rakyat. Dengan kekuatan 100 orang prajurit, Meyer beserta Richemont kembali ke Ulath. Pertempuran berkobar kembali, korban berjatuhan di kedua belah pihak. Dalam pertempuran ini Richemont tertembak mati. Meyer dan pasukannya bertahan di tanjakan Negeri Ouw. Dari segala penjuru pasukan rakyat mengepung, sorak sorai pasukan bercakalele, teriakan yang menggigilkan memecah udara dan membuat bulu roma berdiri.

Di tengah keganasan pertempuran itu muncul seorang gadis remaja bercakalele menantang peluru musuh. Dia adalah putri Nusahalawano, Martha Christina Tiahahu, srikandi berambut panjang terurai ke belakang dengan sehelai kain berang (kain merah) terikat di kepala. Dengan mendampingi sang Ayah dan memberikan kobaran semangat kepada pasukan Nusalaut untuk menghancurkan musuh, jujaro itu telah memberi semangat kepada kaum perempuan dari Ulath dan Ouw untuk turut mendampingi kamu laki-laki di medan pertempuran. Baru di medan ini Belanda berhadapan dengan kaum perempuan fanatik yang turut bertempur. Pertempuran semakin sengit katika sebuah peluru pasukan rakyat mengenai leher Meyer, Vermeulen Kringer mengambil alih komando setelah Meyer diangkat ke atas kapal Eversten.

Pada 12 Oktober 1817 Vermeulen Kringer memerintahkan serangan umum terhadap pasukan rakyat, ketika pasukan rakyat membalas serangan yang begitu hebat ini dengan lemparan batu, para Opsir Belanda menyadari bahwa persediaan peluru pasukan rakyat telah habis. Vermeulen Kringer memberi komando untuk keluar dari kubu-kubu dan kembali melancarkan serangan dengan sangkur terhunus. Pasukan rakyat mundur dan bertahan di hutan, seluruh negeri Ulath dan Ouw diratakan dengan tanah, semua yang ada dibakar dan dirampok habis-habisan.

Martha Christina dan sang Ayah serta beberapa tokoh pejuang lainnya tertangkap dan dibawa ke dalam kapal Eversten. Di dalam kapal ini para tawanan dari Jasirah Tenggara bertemu dengan Kapitan Pattimura dan tawanan lainnya. Mereka diinterogasi oleh Buyskes dan dijatuhi hukuman. Karena masih sangat muda, Buyskes membebaskan Martaha Christina Tiahahu dari hukuman, namun sang Ayah, Kapitan Paulus Tiahahu tetap dijatuhi hukuman mati.

Mendengar keputusan tersebut, Martha Christina Tiahahu memandang sekitar pasukan Belanda dengan tatapan sayu namun kuat yang menandakan keharuan mendalam terhadap sang Ayah. Tiba-tiba Martha Christina Tiahahu merebahkan diri di depan Buyskes memohonkan ampun bagi sang ayah yang sudah tua, namun semua itu sia-sia. Pada 16 Oktober 1817 Martha Christina Tiahahu beserta sang Ayah dibawa ke Nusalaut dan ditahan di benteng Beverwijk sambil menunggu pelaksanaan eksekusi mati bagi ayahnya.

Martha Christina Tiahahu mendampingi sang Ayah pada waktu memasuki tempat eksekusi, kemudian Martha Christina Tiahahu dibawa kembali ke dalam benteng Beverwijk dan tinggal bersama guru Soselissa. Sepeninggal ayahnya Martha Christina Tiahahu masuk ke dalam hutan dan berkeliaran seperti orang kehilangan akal. Hal ini membuat kesehatannya terganggu.

Dalam suatu Operasi Pembersihan pada Desember 1817 Martha Christina Tiahahu beserta 39 orang lainnya tertangkap dan dibawa dengan kapal Eversten ke Pulau Jawa untuk dipekerjakan secara paksa di perkebunan kopi. Selama di atas kapal ini kondisi kesehatan Martha Christina Tiahahu semakin memburuk, ia menolak makan dan pengobatan. Akhirnya pada tanggal 2 Januari 1818, selepas Tanjung Alang, Martha Christina Tiahahu menghembuskan nafas yang terakhir. Jenazah Martha Christina Tiahahu disemayamkan dengan penghormatan militer ke Laut Banda.

Tulisan ini diambil dari http://tidorekota.go.id

HEBATNYA WANITA NUSANTARA: Laksamana Keumala Hayati (Malahayati)

Laksamana Keumala Hayati atau Malahayati adalah wanita pejuang Aceh yang terkenal dalam kemiliteran pada masa Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pimpinan pemerintahan Sultan Alaiddin Ali Riayat Syah IV Saidil Mukammil (1589–1604 M). Malahayati diberikan kepercayaan oleh sultan sebagai kepala pengawal dan protokol di dalam dan di luar istana. Saat masih kanak-kanak ibunya telah meninggal dunia, dan selanjutnya diasuh oleh ayahnya yang bernama Laksamana Mahmudsyah (Tim, 1998:19). Malahayati kecil sering diajak ayahnya pergi dengan kapal perang. Pengenalannya dengan kehidupan laut itu kelak membentuk sifatnya yang gagah berani dalam mengarungi laut luas.

Selain berkedudukan sebagai Kepala Pengawal Istana, Malahayati juga seorang ahli politik yang mengatur diplomasi penting kerajaan. Dalam suatu peristiwa pada 21 Juni 1599, kerajaan kedatangan dua kapal Belanda, Deleeuw dan Deleeuwin di bawah pimpinan dua kapten kapal bersaudara, yaitu Cornelis dan Frederik de Houtman (Tim P3SKA, 1998:19). Maksud kedatangan mereka adalah melakukan perjanjian dagang dan memberikan bantuan dengan meminjamkan dua kapal tersebut guna membawa pasukan Aceh untuk menaklukan Johor pada 11 September 1599.

Peminjaman kapal tersebut ternyata merupakan bentuk tipu muslihat Belanda, karena ketika para prajurit kerajaan menaiki kapal, kedua kapten kapal tersebut melarangnya, sehingga terjadilah bentrokan yang tak terhindarkan. Dalam peristiwa itu banyak dari pihak Belanda tewas, kedua kaptennya ditangkap oleh pasukan Aceh yang dipimpin oleh Malahayati. Oleh karena kecakapannya itulah kemudian sultan mengangkatnya menjadi Laksamana.

Pada zaman Sultan Alaiddin Ali Riayat Syah IV Saidil Mukammil yang memerintah tahun 997–1011 H (1589–1604), dibentuk satu armada yang sebagian prajurit-prajuritnya terdiri atas para janda yang ditinggalkan suaminya karena gugur dalam perang, yang disebut Armada Inong Balee. Pembentukan armada ini atas izin sultan dan inisiatif Laksamana Malahayati. Armada ini dipimpin oleh Laksamana Malahayati, yang juga merupakan seorang janda yang ditinggal mati suaminya dalam suatu pertempuran laut. Markas pasukan ini berada di Lam Kuta, Krueng Raya Kabupaten Aceh Besar (Tim P3SKA, 1998:14). Salah satu jejak perjuangan yang masih tersisa hingga kini adalah kompleks makam Malahayati yang berada di puncak bukit dan satu benteng yang disebut Benteng Inong Balee di tepi pantai Selat Malaka, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Armada Inong Balee berulangkali terlibat dalam pertempuran di Selat Malaka, daerah pantai timur Sumatera, dan Malaya. Seorang wanita penulis asal Belanda, Marie van Zuchyelen dalam bukunya “Vrouwolijke Admiral Malahayati” memuji Laksamana Malahayati dengan armada Inong Baleenya itu, terdiri dari 2000 prajurit wanita yang gagah dan tangkas (Hasjmy, 1975:95). Laksamana Malahayati melatih para janda menjadi prajurit kesultanan yang tangguh di dalam sebuah benteng, yaitu Benteng Inong Balee. Laksamana Malahayati juga diberi wewenang oleh Sultan Alaiddin Ali Riayat Syah IV Saidil Mukammil untuk menerima dan menghadap utusan Ratu Inggris Ratu Elizabeth I, Sir James Lancaster yang datang ke Aceh dengan tiga kapal yaitu Dragon, Hector dan Ascentic pada tanggal 6 Juni 1602 dengan membawa sepucuk surat dari Ratu Inggris (Mann, 2004:23).

Pada masa pemerintahan Sultan Muda Ali Riayat Syah V Mukammil yang memerintah dalam tahun 1011–1015 H (1604–1607) keberadaan prajurit wanita itu masih tetap dipertahankan, yaitu dengan dibentuknya Sukey Kaway Istana (Kesatuan Pengawal Istana). Kesatuan Pengawal Istana itu terdiri dari Si Pa-i Inong (prajurit wanita) di bawah pimpinan dua pahlawan wanita: Laksamana Meurah Ganti dan Laksamana Muda Cut Meurah Inseun (Hasjmy, 1975:95).

Kedua pimpinan Kesatuan Pengawal Istana itulah yang telah berjasa membebaskan Iskandar Muda dari penjara tahanan Sultan Muda Ali Riayat Syah V Mukammil (Jamil, 1959:114). Setelah pemerintahan Sultan Muda Ali Riayat Syah V Mukammil berakhir, dilanjutkan oleh Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Perkasa Alam Syah yang memerintah pada tahun 1016–1045 H (1607–1636 M). Pada masa itu Kerajaan Aceh Darussalam berkembang pesat dan mengalami masa keemasannya. Perhatian sultan kepada para prajurit wanita cukup besar. Sultan memperbesar dan mempermodern Angkatan Perang Aceh, di antaranya membentuk suatu kesatuan pengawal istana yang terdiri atas prajurit wanita di bawah pimpinan seorang jenderal wanita, Jenderal Keumala Cahaya. Kesatuan wanita tersebut sebagian merupakan Kesatuan Kawal Kehormatan yang terdiri atas prajurit wanita cantik. Kesatuan ini bertugas menyambut tamu-tamu agung atau para pembesar, baik dari kalangan pembesar kerajaan di Nusantara maupun dari luar/asing, dengan barisan kehormatannya.

Benteng Inong Balee

Benteng Inong Balee berada di Desa Lamreh, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar. Benteng ini disebut Benteng Inong Balee yang pebangunannya dipimpin Laksamana Malahayati, pada masa Sultan Alaiddin Ali Riayat Syah IV Saidil Mukammil. Pencapaian menuju Benteng Inong Balee melalui jalan raya beraspal arah Banda Aceh–Mesjid Raya berbelok ke arah kiri berlanjut melalui jalan tanah. Kemudian sekitar 1 km melintasi jalan tanah tersebut maka akan dijumpai benteng yang berada di tepi jurang, dan di bawahnya terdapat pantai yang dihiasi karang-karang terjal. Benteng berdenah persegi panjang menghadap ke barat yaitu arah laut/Selat Malaka.

Batas tembok di sisi utara berupa tanah landai yang penuh dengan semak belukar, sisi timur juga semak belukar, sisi selatan areal perladangan, dan sisi barat sekitar 10 m adalah jurang. Konstruksi tembok benteng yang masih tersisa kini di bagian barat berupa tembok yang membujur utara-selatan, dan di bagian utara dan selatan membujur timur-barat. Kemudian di bagian timur terdapat struktur pondasi berukuran panjang sekitar 20 m. Bahan bangunan penyusun tembok benteng terbuat dari batuan alam berspesi kapur. Tembok benteng di bagian barat memiliki ukuran panjang 60 m, tebal 2 m, dan tinggi 2,5 m, tembok benteng di bagian utara berukuran panjang 40 m, tebal 2 m, dan tinggi bagian dalam 1 m. Sedangkan tembok di bagian selatan berukuran panjang 60 m, tebal 2 m, dan tinggi bagian dalam 1 m. Pada tembok yang membujur utara-selatan di bagian barat terdapat 4 lubang pengintaian menyerupai bentuk tapal kuda. Tinggi lubang pengintaian bagian dalam sekitar 90 cm, lebar 160 cm, sedangkan tinggi lubang bagian luar sekitar 85 cm dan lebar 100 cm. Posisinya yang mengarah ke Selat Malaka jelas berfungsi untuk mengawasi terhadap lalu-lalang kapal laut. Benteng Inong Balee sering disebut juga Benteng Malahayati. Benteng ini merupakan benteng pertahanan sekaligus sebagai asrama penampungan janda-janda yang suaminya gugur dalam pertempuran. Selain itu juga digunakan sebagai sarana pelatihan militer dan penempatan logistik keperluan perang.

Kompleks Makam Laksamana Malahayati

Sekitar 3 km dari Benteng Inong Balee terdapat kompleks makam Laksamana Malahayati, yang berada di puncak bukit kecil. Di sekeliling areal makam ini adalah perladangan penduduk. Untuk mencapai kompleks makam tersebut dapat ditempuh dengan cara menaiki susunan anak tangga yang terbuat dari semen. Areal makam dibatasi pagar tembok dengan pintu di sisi timur. Ada tiga makam yang berada dalam satu jirat dan dinaungi satu cungkup. Jirat berbentuk persegi panjang terbuat dari semen yang dilapisi keramik putih. Ukuran tinggi jirat dari permukaan tanah sekitarnya adalah 30 cm.

Makam pertama berada di sisi barat dilengkapi sepasang nisan tipe pipih bersayap. Bagian kaki berbentuk balok, antara kaki dan badan terdapat pelipit. Bagian bawah badan berhiaskan kuncup bunga teratai. Terdapat 3 panel kaligrafi berbingkai di tengah badan nisan, hiasan sulur-suluran di bagian sayap nisan. Puncak nisan berbentuk atap limasan. Makam kedua berada di antara Makam pertama dan Makam ketiga, tipe nisan pipih tanpa sayap. Kaki nisan berbentuk balok, antara kaki dan badan terdapat pelipit. Pada bagian bawah nisan berukirkan kuncup bunga teratai. Pada bagian tengah badan terdapat 3 panel kaligrafi berbingkai dan motif garis-garis. Bahu kiri dan kanan nisan meruncing ke atas. Di atas bahu nisan terdapat dua susun mahkota teratai yang diakhiri bagian puncak berbentuk atap limasan. Makam ketiga terletak di sisis timur dari makam kedua. Ukuran nisan lebih kecil dari makam pertama dan makam kedua. Bentuk nisan pipih tanpa sayap. Nisan yang berada di bagian utara dan selatan telah patah. Selain nisan aslinya yang telah patah, nisan di bagian utara juga ditandai dengan batuan alam.

Tulisan ini diambil dari Sutrisna, Deni, 2008, Benteng Inong Balee Dan Kompleks Makam Laksamana Malahayati Di Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, http://balarmedan.wordpress.com.

Foto di atas adalah penulis yang sedang melakukan survei di Benteng Inong Balee.

Kepustakaan

Ambary, Hasan Muarif, 1996. Makam-makam Islam di Aceh dalam Aspek-aspek Arkeologi Indonesia No. 19. Jakarta: Puslit Arkenas, Depdikbud

——————–,1998. Menemukan Peradaban, Arkeologi dan Islam di Indonesia. Jakarta: Puslit Arkenas

Hasjmy, A, 1975. Iskandar Muda Meukuta Alam. Jakarta: Bulan Bintang

——————–, 1976. 59 Tahun Aceh Merdeka dibawah Pemerintahan Ratu. Jakarta: Bulan Bintang

Jamil, M Yunus, 1959. Gajah Putih. Banda Aceh: Lembaga Kebudayaan Aceh

Mann, Richard, 2004. 400 Years And More of The British In Indonesia. London: Gateway Books International

Perret, Daniel dan Kamarudin AB. Razak, 1999. Batu Aceh Warisan Sejarah Johor. Selangor: Yayasan Warisan Johor dan EFEO

Pramono, Djoko, 2005. Budaya Bahari. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Soekmono, R, 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Jakarta: Kanisius

Tim, 1978. Adat Istiadat Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah

Tim P3SKA, 1998. Buku Objek Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Aceh. Banda Aceh: Perkumpulan Pecinta Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Aceh (P3SKA).

Tim Penyusun, 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka, Depdikbud

Rabu, 15 April 2009

Suatu hari di bulan Maret 1946

Suatu hari di Bulan Maret 1946, dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk mengukir sejarah dengan membakar rumah dan harta benda mereka, meninggalkan kota menuju pegunungan di selatan. Beberapa tahun kemudian, lagu "Halo Halo Bandung" ditulis untuk melambangkan emosi mereka, seiring janji akan kembali ke kota tercinta, yang sekarang telah menjadi lautan api.
Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia belum sepenuhnya merdeka. Kemerdekaan harus dicapai sedikit demi sedikit melalui perjuangan rakyat yang rela mengorbankan segalanya. Setelah Jepang kalah, tentara Inggris datang untuk melucuti tentara Jepang. Mereka berkomplot dengan Belanda dan memperalat Jepang untuk menjajah kembali Indonesia. Jejak Perjuangan "Bandung Lautan Api" membawa kita menelusuri kembali berbagai kejadian di Bandung yang berpuncak pada suatu malam mencekam, saat penduduk melarikan diri, mengungsi, di tengah kobaran api dan tembakan musuh. Sebuah kisah tentang harapan, keberanian dan kasih sayang. Sebuah cerita dari para pejuang kita ...
Berita pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan dari Jakarta diterima di Bandung melalui Kantor Berita DOMEI pada Jumat pagi, 17 Agustus 1945. Esoknya, 18 Agustus 1945, cetakan teks tersebut telah tersebar. Dicetak dengan tinta merah oleh Percetakan Siliwangi. Di Gedung DENIS, Jalan Braga (sekarang Gedung Bank Jabar), terjadi insiden perobekan warna biru bendera Belanda, sehingga warnanya tinggal merah dan putih menjadi bendera Indonesia. Perobekan dengan bayonet tersebut dilakukan oleh seorang pemuda Indonesia bernama Mohammad Endang Karmas, dibantu oleh Moeljono.
Pada 27 Agustus 1945, dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR), disusul oleh terbentuknya Laskar Wanita Indonesia (LASWI) pada 12 Oktober 1945. Jumlah anggotanya 300 orang, terdiri atas bagian pasukan tempur, Palang Merah, penyelidikan dan perbekalan.
Pada September-Oktober 1945 terjadi bentrokan fisik antara pemuda, TKR, dan rakyat Bandung dengan tentara Jepang dalam usaha pemindahan markas Jepang, antara lain di Gedung PTT, pabrik senjata dan mesiu di Kiaracondong, yang puncaknya terjadi di Heetjanweg, Tegalega. Pada 9 Oktober 1945, bentrokan fisik dengan pihak Jepang dapat diselesaikan dengan damai.
Pemuda, TKR, dan rakyat Bandung berhasil mendapatkan senjata mereka dan kemenangan ada di pihak rakyat Bandung. Namun bersamaan dengan itu, datanglah tentara Sekutu memasuki kota Bandung (21 Oktober 1945) sebanyak 1 brigade dipimpin Mc Donald Divisi India ke-23, dengan dikawal Mayor Kemal Idris dari Jakarta. Peranan Sekutu sebagai wakil kolonial Belanda segera menimbulkan ketegangan dan bentrokan dengan rakyat Bandung.
Insiden-insiden kecil yang menjurus pada pertempuran sudah tidak dapat dihindari lagi. Pada 24 November 1945, TKR, pemuda, dan rakyat yang dipimpim oleh Arudji Kartasasmita sebagai komandan TKR Bandung memutuskan aliran listrik sehingga seluruh kota Bandung gelap gulita dengan maksud mengadakan serangan malam terhadap kedudukan Sekutu. Sejak saat itu, pertempuran terus berkecamuk di Bandung.
Peristiwa yang memperburuk keadaan terjadi pada 25 November 1945. Selain menghadapi serangan musuh, rakyat menghadapi banjir besar meluapnya Sungai Cikapundung. Ratusan korban terbawa hanyut dan ribuan penduduk kehilangan tempat tinggal. Keadaan ini dimanfaatkan musuh untuk menyerang rakyat yang tengah menghadapi musibah.
Karena merasa terdesak, pada 27 November 1945 Sekutu memberikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat Sutarjo ditujukan kepada seluruh rakyat Bandung agar paling lambat pada 29 November 1945 pukul 12 unsur bersenjata RI meninggalkan Bandung Utara dengan jalan kereta api sebagai garis batas dermakasinya. Tetapi sampai batas waktu yang ditentukan, rakyat Bandung tidak mematuhinya. Maka sejak saat itu, Sekutu telah menganggap bahwa Bandung telah terbagi menjadi 2 bagian dengan jalan kereta api sebagai garis batasnya. Bandung bagian utara dianggap milik Inggris, sedangkan Bandung Selatan milik Republik. Mulailah tentara Sekutu yang terdiri atas tentara Inggris, Gurkha, dan NICA meneror penduduk di bagian Utara jalan kereta api. Mereka menghujani tembakan ke kampung-kampung dengan membabi buta.
Kekalahan Republik dalam mempertahankan Gedung Sate/PTT membawa korban 7 orang meninggal dunia sebagai pahlawan. Pertempuran di UNPAD pada 1 Desember, Balai Besar K.A., dan Stasiun Viaduct pada 3 Desember menjadi saksi atas ketahanan bangsa Indonesia. Sepanjang Desember 1945 sampai Januari 1946, pertempuran masih berlangsung dengan jalan kereta api sebagai garis demarkasinya. Titik utamanya: Waringin, Stasiun Viaduct, dan Cicadas. Demikian pertempuran di Fokkerweg berlangsung selama 3 hari 3 malam.
Berbagai tekanan dan serangan terus dilakukan oleh pihak Inggris dan Belanda. Pada 5 Desember 1945, beberapa pesawat terbang Inggris membom daerah Lengkong Besar. Pada 21 Desember 1945, pihak Inggris menjatuhkan bom dan rentetan tembakan membabi buta di Cicadas. Korban makin banyak berjatuhan.
Pada 2 Januari 1946, konvoi Inggris dari Jakarta yang terdiri atas 100 truk tiba di Bandung. Bantuan dari Jakarta selalu mengalir untuk membantu pertahanan Sekutu yang ada di Bandung, sementara di pihak Republik bantuan pun tak kunjung henti dari berbagai daerah. Sekutu merasa tidak aman karena selalu mendapat serangan dari TKR, pemuda, dan rakyat Bandung. Pada 24 Maret 1946, Sekutu mengeluarkan ultimatum lagi kepada bangsa Indonesia yang masih mempunyai atau menyimpan senjata, bahwa pada malam minggu harus sudah meninggalkan seluruh Bandung. Dengan demikian, garis demarkasi yang telah dibuat itu tidak digunakan lagi. Ultimatum itu berakhir sampai tengah malam Senin 24-25 Maret 1946.
Secara lisan, pihak Sekutu meminta untuk mengawasi daerah dengan radius 11 km sekitar Bandung. TKR dan pasukan lainnya meminta waktu 10 hari karena penarikan TKR dalam waktu singkat tidak mungkin, namun tuntutan itu tidak disetujui. Dengan demikian, pertempuran sulit untuk dihindarkan. Ribuan orang mulai meninggalkan kota Bandung. Bulan Februari sampai Maret 1946, Bandung telah berubah menjadi arena pertempuran.
Ultimatum agar Tentara Republik Indonesia (TRI) meninggalkan kota dan rakyat, melahirkan politik "bumihangus". Rakyat tidak rela Kota Bandung dimanfaatkan oleh musuh. Mereka mengungsi ke arah selatan bersama para pejuang. Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan perjuangan, pada 24 Maret 1946.
Kolonel Abdul Haris Nasution selaku Komandan Divisi III, mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan untuk meninggalkan Kota Bandung. Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang meninggalkan kota. Malam itu pembakaran kota berlangsung besar-besaran. Api menyala dari masing-masing rumah penduduk yang membakar tempat tinggal dan harta bendanya, kemudian makin lama menjadi gelombang api yang besar. Setelah tengah malam kota telah kosong dan hanya meninggalkan puing-puing rumah yang masih menyala.
Pembumihangusan Bandung tersebut merupakan tindakan yang tepat, karena kekuatan TRI tidak akan sanggup melawan pihak musuh yang berkekuatan besar. Selanjutnya TRI melakukan perlawanan secara gerilya dari luar Bandung. Peristiwa ini melahirkan lagu "Halo-Halo Bandung" yang bersemangat membakar daya juang rakyat Indonesia.
Seperti yang diberitakan Kantor Berita ANTARA: “Berita yang diterima siang hari ini menyatakan sebagai berikut: Bandung menjadi lautan api. Gedung-gedung dari jawatan-jawatan besar hancur, di antaranya kantor telpon, kantor pos, jawatan listrik. Sepanjang jalan Pangeran Sumedang, Cibadak, Kopo, puluhan rumah serta pabrik gas terbakar. Semua listrik, penerangan di daerah Bandung putus, yakni Banjaran, Ciperu, dan Cicalengka. Yang masih berjalan hanya listrik penerangan daerah Pengalengan. Lebih lanjut dikabarkan, bahwa Inggris mulai menyerang pada 25 Maret pagi, sehingga terjadi pertempuran sengit yang masih berjalan sampai saat dibikinnya berita ini” (Sumber: Berita ANTARA, 26 Maret 1946).
Bandung sengaja dibakar oleh tentara Republik. Hal ini dimaksudkan agar Sekutu tidak dapat menggunakannya lagi. Di sana sini asap hitam mengepul membumbung tinggi di udara. Semua listrik mati. Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran sengit terjadi. Pertempuran yang paling seru terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat pabrik mesiu yang besar milik Sekutu. TKR bermaksud menghancurkan gudang mesiu tersebut. Untuk itu diutuslah pemuda yang bernama Muhammad Toha dan Ramdan. Kedua pemuda itu berhasil meledakkan gudang tersebut dengan granat tangan. Gudang besar itu meledak dan terbakar, tetapi kedua pemuda itu pun ikut terbakar di dalamnya.
Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi keselamatan maka pada jam 21.00 itu juga ikut keluar kota. Sejak saat itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan kosong dari tentara. Tetapi api masih membumbung masih membakar Bandung. Kini Bandung berubah menjadi lautan api. Rakyat berduyun-duyun meninggalkan Bandung Selatan untuk mengungsi ke desa-desa. Sekutu tetap melancarkan serangan-serangan tapi jauh di utara ditujukan ke selatan. Sampai saat itu, hanya 16.000 orang pribumi yang tinggal di Bandung Utara, padahal sebelumnya daerah itu berpenduduk 100.000 jiwa.

Tanam paksa seperti gabus untuk mengapung

Setelah kembali menguasai Indonesia, pemerintahan Belanda dipegang oleh tiga orang komisaris Jenderal yaitu Elout, Van der Capellen dan Buyskes. Keuangan Belanda merosot karena selain kerugian VOC yang harus dibayar, juga karena biaya yang amat besar untuk menghdapi perang Diponegoro dan perang Paderi. Sementara di Eropa, Belgia memisahkan diri pada 1830 padahal daerah industri banyak di wilayah Belgia.
Untuk mengatasi kesulitan ekonomi tersebut maka diberangkatkanlah Johannes Van den Bosch sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda dengan tugas meningkatkan penerimaan negara untuk mengatasi masalah keuangan Bagaimana cara Van den Bosch meningkatkan penerimaan negara? Ia memberlakukan sistem tanam yang kemudian menjadi tanam paksa. Peraturan tanam paksa yang dikeluarkan Van den Bosch mewajibkan rakyat membayar pajak dalam bentuk hasil pertanian (inatura) khususnya kopi, tebu dan nila. Dengan demikian akan diperoleh barang eksport yang banyak untuk dikirim ke Belanda dan dijual ke Eropa serta Amerika. Dalam tanam paksa itu terdapat beberapa ketentuan pokok, yaitu:
1. Penduduk diharuskan menyediakan sebagian tanahnya untuk tanaman yang laku dijual (dieksport) ke Eropa.
2. Tanah yang dipergunakan tidak melebihi 1/5 tanah yang dimiliki penduduk desa.
3. Waktu untuk memelihara tanaman tidak melebihi waktu yang diperlukan untuk memelihara tanaman padi.
4. Bagian tanah yang ditanami tersebut bebas pajak.
5. Bila hasil bumi melebihi nilai pajak yang harus dibayar rakyat maka kelebihan hasil bumi tersebut diberikan kepada rakyat.
6. Jika gagal panen yang tidak disebabkan oleh kesalahan petani maka kerugian di tanggung pemerintah
7. Penduduk yang bukan petani wajib bekerja di kebun, pabrik atau pengangkutan untuk kepentingan Belanda.
Apakah peraturan tanam paksa tersebut dijalankan dengan baik oleh para Bupati, Kepala desa dan pegawai Belanda yang lain? Jika
tanam paksa diterapkan sesuai peraturan tidaklah terlalu membebani rakyat. Dalam praktiknya terjadi banyak penyimpangan sehingga rakyatlah yang menjadi korban. Mengapa demikian? Karena adanya iming-iming agar para Bupati, Kepala desa serta pegawai Belanda yang bekerja dengan sungguh-sungguh akan diberi perangsang yang disebut Culture procenten yaitu bagian (prosen) dari tanaman yang disetor sebagai bonus selain pendapatan yang biasa mereka terima.
Contoh penyimpangan adalah tanah yang dipakai bisa lebih dari 1/5 bagian, selisih harga tidak diberikan ke petani, kegagalan panen ditanggung petani. Rakyat masih diwajibkan kerja rodi. Dengan penyimpangan tersebut para aparat pemerintah dan Bupati dapat mengumpulkan Cultur procenten yang banyak untuk memperkaya diri di atas penderitaan rakyat. Terjadi kemiskinan, kelaparan dan kematian. Contoh di Cirebon (1844), Demak (1848), Grobogan
Purwodari (1849).
Adakah dampak positi
f tanam paksa? Bagi bangsa Indonesia mulai dikenal tanaman baru serta cara memeliharanya serta meningkatkan pengairan.
Penyimpangan terhadap aturan tanam paksa menimbulkan reaksi. Hal ini mengakibatkan berbagai pihak menuntut agar sistem tanam paksa dihapuskan. Ada dua golongan yang bereaksi terhadap penyimpangan tanam paksa yaitu golongan humanis dan pengusaha.
1. Golongan humanis. Ada dua tokoh dari golongan ini yang sangat gigih berjuang untuk kemanusiaan yaitu: Yang pertama adalah Baron Van Houvel. Ia seorang pendeta yang mengungkapkan kesengsaraan rakyat akibat tanam paksa baik di majalah, forum pertemuan maupun di DPR Belanda. Yang kedua adalah duard Douwes Dekker dengan nama samaran Multatuli (berarti Aku yang banyak menderita). Ia menulis satu buku yang berjudul Max Havelaar
atau Lelang kopi Persekutuan Dagang Belanda tahun 1859. Dalam bukunya ia melukiskan penderitaan rakyat akibat tanam paksa.
2. Golongan pengusaha swasta Belanda yang menghendaki adanya kebebasan berusaha di Indonesia melalui sidang Parlemen di Belanda.
Dampak kritikan tersebut tanam
paksa mulai dihapuskan secara bertahap, salah satunya penghapusan tanaman nila, teh dan kayu manis pada 1865 karena kurang menguntungkan. Kemudian berturut-turut pada 1866 tembakau, pada 1884 tebu, dan terakhir adalah pada 1916 kopi.
Tanam paksa berhasil menutup defisit dan meningkatkan kemakmuran bangsa Belanda. Sehingga tepatlah ungkapan yang berbunyi “Indonesia adalah gabus tempat mengapung“ bagi Belanda.

Mengapa VOC bubar?

Ketika VOC berkuasa di Nusantara, untuk melaksanakan kekuasaannya itu diangkatlan jabatan Gubernur Jenderal VOC antara lain Pieter Both, ia merupakan Gubernur Jenderal VOC pertama yang memerintah tahun 1610–1619 di Ambon. Yang kedua adalah Jan Pieterzoon Coen, merupakan Gubernur Jenderal kedua yang memindahkan pusat VOC dari Ambon ke Jayakarta (Batavia). Karena letaknya strategis di tengah-tengah Nusantara memudahkan pelayaran ke Belanda.
Setelah berpusat di Batavia, VOC melakukan perluasan kekuasaan dengan pendekatan serta campur tangan terhadap kerajaan-kerajaan di Indonesia antara lain Mataram, Banten, Banjar, Sumatra, Gowa (Makasar) serta Maluku. Akibat hak monopoli yang dimilikinya. VOC memaksakan kehendaknya, sehingga menimbulkan permusuhan dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara. Untuk menghadapi perlawanan bangsa Indonesia VOC meningkatkan kekuatan militernya serta membangun benteng-benteng seperti di Ambon, Makasar, Jayakarta dan lain-lain.
Dalam usahanya memonopoli perdagangan, Belanda/VOC memiliki berbagai cara, antara lain:
1. Melakukan pelayaran hongi untuk memberantas penyelundupan. Tindakan yang dilakukan VOC adalah merampas setiap kapal penduduk yang menjual langsung rempah-rempah kepada pedagang asing seperti Inggris, Perancis dan Denmark. Hal ini banyak dijumpai di pelabuhan bebas Makasar. Hongi adalah nama jenis perahu di Maluku yang bentuknya panjang dipakai untuk patroli laut Belanda yang didayung secara paksa oleh penduduk setempat.
1. Melakukan Ekstirpasi yaitu penebangan tanaman, milik rakyat. Tujuannya adalah mepertahankan agar harga rempah-rempah tidak merosot bila hasil panen berlebihan (over produksi). Ingat hukum ekonomi!
2. Perjanjian dengan raja-raja setempat terutama yang kalah perang wajib menyerahkan hasil bumi yang dibutuhkan VOC dengan harga yang ditetapkan VOC. Penyerahan wajib disebut Verplichte Leverantien
3. Rakyat wajib menyerahkan hasil bumi sebagai pajak, yang disebut dengan istilah Contingenten
Seiring dengan perubahan permintaan dan kebutuhan di Eropa dari rempah-rempah ke tanaman industri yaitu kopi, gula dan teh maka pada abad 18 VOC mengalihkan perhatiannya untuk menanam ke tiga jenis barang komoditi tersebut. Misalnya tebu di Muara Angke (sekitar Batavia), kopi dan teh daerah Priangan.
Dalam melaksanakan pemerintahan VOC banyak mempergunakan tenaga Bupati. Sedangkan bangsa Cina dipercaya untuk pemungutan pajak dengan cara menyewakan desa untuk beberapa tahun lamanya.
Pada pertengahan abad ke 18 VOC mengalami kemunduran karena beberapa sebab. Kemunduran ini mengakibatkan dibubarkannya VOC. Di antara beberapa penyebabnya adalah:
1. Banyak pegawai VOC yang curang dan korupsi.
2. Banyak pengeluaran untuk biaya peperangan contoh perang melawan Hasanuddin dari Gowa.
3. Banyaknya gaji yang harus dibayar karena kekuasaan yang luas membutuhkan pegawai yang banyak.
4. Pembayaran Devident (keuntungan) bagi pemegang saham turut memberatkan setelah pemasukan VOC kekurangan.
5. Bertambahnya saingan dagang di Asia terutama Inggris dan Perancis.
6. Perubahan politik di Belanda dengan berdirinya Republik Bataaf 1795 yang demokratis dan liberal menganjurkan perdagangan bebas.
Akhirnya VOC dibubarkan pada 31 Desember 1799 dengan hutang 136,7 juta gulden dan kekayaan yang ditinggalkan berupa kantor dagang, gudang, benteng, kapal serta daerah kekuasaan di Indonesia.



Sebutir kurma pengganjal doa

Selesai menunaikan ibadah haji, Ibrahim bin Adham berniat ziarah ke masjidil Aqsa. Untuk bekal di perjalanan, ia membeli satu kilogram kurma dari pedagang tua di dekat masjidil Haram. Setelah kurma ditimbang dan dibungkus, Ibrahim melihat sebutir kurma tergeletak di dekat timbangan. Menyangka kurma itu bagian dari yang ia beli, Ibrahim memungut dan memakannya.
Setelah itu ia langsung berangkat menuju Al Aqsa. Empat Bulan kemudian, Ibrahim tiba di Al Aqsa. Seperti biasa, ia suka memilih tempat beribadah di ruangan di bawah kubah Sakhra. Ia shalat dan berdoa khusuk sekali. Tiba tiba ia mendengar percakapan dua Malaikat tentang dirinya. "Itu, Ibrahim bin Adham, ahli ibadah yang zuhud dan wara yang doanya selalu dikabulkan ALLAH SWT," kata malaikat yang satu. "Tetapi sekarang tidak lagi. doanya ditolak karena empat bulan yg lalu ia memakan sebutir kurma yang jatuh dari meja seorang pedagang tua di dekat masjidil haram," jawab malaikat yang satu lagi. Ibrahim bin adham terkejut sekali, ia terhenyak, jadi selama empat bulan ini ibadahnya, shalatnya, doanya dan mungkin amalan-amalan lainnya tidak diterima oleh ALLAH SWT gara-gara memakan sebutir kurma yang bukan haknya. "Astaghfirullahal adzhim" Ibrahim beristighfar.
Ia langsung berkemas untuk berangkat lagi ke Mekkah menemui pedagang tua penjual kurma. Untuk meminta dihalalkan sebutir kurma yang telah ditelannya. Begitu sampai di Mekkah ia langsung menuju tempat penjual kurma itu, tetapi ia tidak menemukan pedagang tua itu melainkan seorang anak muda. "Empat bulan yang lalu saya membeli kurma di sini dari seorang pedagang tua. kemana ia sekarang?" tanya Ibrahim. "Sudah meninggal sebulan yang lalu, saya sekarang meneruskan pekerjaannya berdagang kurma" jawab anak muda itu. "Innalillahi wa innailaihi roji'un, kalau begitu kepada siapa saya meminta penghalalan?" Lantas ibrahim menceritakan peristiwa yg dialaminya, anak muda itu mendengarkan penuh minat. "Nah, begitulah" kata ibrahim setelah bercerita, "Engkau sebagai ahli waris orangtua itu, maukah engkau menghalalkan sebutir kurma milik ayahmu yang terlanjur kumakan tanpa izinnya?" "Bagi saya tidak masalah. Insya ALLAH saya halalkan. Tapi entah dengan saudara-saudara saya yang jumlahnya 11 orang. Saya tidak berani mengatas nama kan mereka karena mereka mempunyai hak waris sama dengan saya." "Di mana alamat saudara-saudaramu? biar saya temui mereka satu persatu." Setelah menerima alamat, ibrahim bin adham pergi menemui. Biar berjauhan, akhirnya selesai juga. Semua setuju menghalakan sebutir kurma milik ayah mereka yang termakan oleh ibrahim. Empat bulan kemudian, Ibrahim bin adham sudah berada di bawah kubah Sakhra.
Tiba tiba ia mendengar dua malaikat yang dulu terdengar lagi bercakap cakap. "Itulah ibrahim bin adham yang doanya tertolak gara gara makan sebutir kurma milik orang lain." "O, tidak.., sekarang doanya sudah makbul lagi, ia telah mendapat halalan dari ahli waris pemilik kurma itu. Diri dan jiwa Ibrahim kini telah bersih kembali dari kotoran sebutir kurma yang haram karena masih milik orang lain. Sekarang ia sudah bebas."
Dari cerita di atas kita tarik kesimpulan, makanan akan menjadi darah dan daging, akan selau manunggal dengan jiwa kita, kalau makanan itu tidak bersih semua aktifitas akan kena dampaknya"

Selasa, 14 April 2009

Air untuk Batavia

Tahukah anda bahwa Batavia pada abad XVII memerlukan air yang harus didatangkan dari luar Jawa? Ya, tidak tanggung-tanggung, air itu bukan didatangkan dari Sumatera, Bali, Madura, atau pulau-pulau lain yang berdekatan dengan Pulau Jawa, tetapi dari Pulau Banda Besar di Kepulauan Banda Neira. Dulu Pulau Banda Besar dikenal dengan nama Lontor.
Sejak Belanda dapat mengusir Portugis dari kepulauan ini, mereka banyak mendirikan bangunan bertahahan atau benteng. Salah satunya adalah Benteng Combir. Benteng ini tepatnya berada di Desa Lontor, Pulau Banda Besar, Kecamatan Banda Neira, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku.
Bangunan ini berfungsi sebagai tempat tinggal dan sarana akomidasi baga para pengunjung. Selain itu, bangunan ini juga berfgungsi sebagai pertahanan tambahan. Bangunan ini terdiri atas delapan sampai sepuluh ruang yang berukuran besar (hampir seperti ruang dansa). Lantainya terbuat dari campuran batu dan kapur, dan kadang-kadang dicampur dengan gula. Kemudian di upam, sehingga menyerupai marmer atau granit. Terasnya juga berukuran besar.
Combir adalah salah satu “Voorwal” yang memiliki aliran air yang dilengkapi redout yang memiliki nama yang sama. Sumur dibangun sebagai cadangan air saat musim kering. Pada 1663, Gubernur Joan van Dam mengambil inisiatif untuk membangun redout sebagai bangunan pertahanan untuk melindungi sumur ini. Pada 1664 satu “moat” dibangun dengan kedalaman 24 kaki di sekitar redout, dan enam meriam diletakkan di atasnya. Air itu dialirkan dengan menggunakan bambu ke kapal melalui pantai. Air itu sangat jenih dan segar. Setiap bulanya, berbarel-barel air dikirim ke Batavia untuk digunakan oleh gubernur jenderal dan keluargannya.
Saat ini Benteng Compir sudah hancur/tidak terlihat lagi, tetapi sumur yang cukup dalam dengan tembok yang tebal masih ada. Sumur ini sampai sekarang masih digunakan oleh masyarakat setempat.