Rabu, 15 April 2009

Suatu hari di bulan Maret 1946

Suatu hari di Bulan Maret 1946, dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk mengukir sejarah dengan membakar rumah dan harta benda mereka, meninggalkan kota menuju pegunungan di selatan. Beberapa tahun kemudian, lagu "Halo Halo Bandung" ditulis untuk melambangkan emosi mereka, seiring janji akan kembali ke kota tercinta, yang sekarang telah menjadi lautan api.
Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia belum sepenuhnya merdeka. Kemerdekaan harus dicapai sedikit demi sedikit melalui perjuangan rakyat yang rela mengorbankan segalanya. Setelah Jepang kalah, tentara Inggris datang untuk melucuti tentara Jepang. Mereka berkomplot dengan Belanda dan memperalat Jepang untuk menjajah kembali Indonesia. Jejak Perjuangan "Bandung Lautan Api" membawa kita menelusuri kembali berbagai kejadian di Bandung yang berpuncak pada suatu malam mencekam, saat penduduk melarikan diri, mengungsi, di tengah kobaran api dan tembakan musuh. Sebuah kisah tentang harapan, keberanian dan kasih sayang. Sebuah cerita dari para pejuang kita ...
Berita pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan dari Jakarta diterima di Bandung melalui Kantor Berita DOMEI pada Jumat pagi, 17 Agustus 1945. Esoknya, 18 Agustus 1945, cetakan teks tersebut telah tersebar. Dicetak dengan tinta merah oleh Percetakan Siliwangi. Di Gedung DENIS, Jalan Braga (sekarang Gedung Bank Jabar), terjadi insiden perobekan warna biru bendera Belanda, sehingga warnanya tinggal merah dan putih menjadi bendera Indonesia. Perobekan dengan bayonet tersebut dilakukan oleh seorang pemuda Indonesia bernama Mohammad Endang Karmas, dibantu oleh Moeljono.
Pada 27 Agustus 1945, dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR), disusul oleh terbentuknya Laskar Wanita Indonesia (LASWI) pada 12 Oktober 1945. Jumlah anggotanya 300 orang, terdiri atas bagian pasukan tempur, Palang Merah, penyelidikan dan perbekalan.
Pada September-Oktober 1945 terjadi bentrokan fisik antara pemuda, TKR, dan rakyat Bandung dengan tentara Jepang dalam usaha pemindahan markas Jepang, antara lain di Gedung PTT, pabrik senjata dan mesiu di Kiaracondong, yang puncaknya terjadi di Heetjanweg, Tegalega. Pada 9 Oktober 1945, bentrokan fisik dengan pihak Jepang dapat diselesaikan dengan damai.
Pemuda, TKR, dan rakyat Bandung berhasil mendapatkan senjata mereka dan kemenangan ada di pihak rakyat Bandung. Namun bersamaan dengan itu, datanglah tentara Sekutu memasuki kota Bandung (21 Oktober 1945) sebanyak 1 brigade dipimpin Mc Donald Divisi India ke-23, dengan dikawal Mayor Kemal Idris dari Jakarta. Peranan Sekutu sebagai wakil kolonial Belanda segera menimbulkan ketegangan dan bentrokan dengan rakyat Bandung.
Insiden-insiden kecil yang menjurus pada pertempuran sudah tidak dapat dihindari lagi. Pada 24 November 1945, TKR, pemuda, dan rakyat yang dipimpim oleh Arudji Kartasasmita sebagai komandan TKR Bandung memutuskan aliran listrik sehingga seluruh kota Bandung gelap gulita dengan maksud mengadakan serangan malam terhadap kedudukan Sekutu. Sejak saat itu, pertempuran terus berkecamuk di Bandung.
Peristiwa yang memperburuk keadaan terjadi pada 25 November 1945. Selain menghadapi serangan musuh, rakyat menghadapi banjir besar meluapnya Sungai Cikapundung. Ratusan korban terbawa hanyut dan ribuan penduduk kehilangan tempat tinggal. Keadaan ini dimanfaatkan musuh untuk menyerang rakyat yang tengah menghadapi musibah.
Karena merasa terdesak, pada 27 November 1945 Sekutu memberikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat Sutarjo ditujukan kepada seluruh rakyat Bandung agar paling lambat pada 29 November 1945 pukul 12 unsur bersenjata RI meninggalkan Bandung Utara dengan jalan kereta api sebagai garis batas dermakasinya. Tetapi sampai batas waktu yang ditentukan, rakyat Bandung tidak mematuhinya. Maka sejak saat itu, Sekutu telah menganggap bahwa Bandung telah terbagi menjadi 2 bagian dengan jalan kereta api sebagai garis batasnya. Bandung bagian utara dianggap milik Inggris, sedangkan Bandung Selatan milik Republik. Mulailah tentara Sekutu yang terdiri atas tentara Inggris, Gurkha, dan NICA meneror penduduk di bagian Utara jalan kereta api. Mereka menghujani tembakan ke kampung-kampung dengan membabi buta.
Kekalahan Republik dalam mempertahankan Gedung Sate/PTT membawa korban 7 orang meninggal dunia sebagai pahlawan. Pertempuran di UNPAD pada 1 Desember, Balai Besar K.A., dan Stasiun Viaduct pada 3 Desember menjadi saksi atas ketahanan bangsa Indonesia. Sepanjang Desember 1945 sampai Januari 1946, pertempuran masih berlangsung dengan jalan kereta api sebagai garis demarkasinya. Titik utamanya: Waringin, Stasiun Viaduct, dan Cicadas. Demikian pertempuran di Fokkerweg berlangsung selama 3 hari 3 malam.
Berbagai tekanan dan serangan terus dilakukan oleh pihak Inggris dan Belanda. Pada 5 Desember 1945, beberapa pesawat terbang Inggris membom daerah Lengkong Besar. Pada 21 Desember 1945, pihak Inggris menjatuhkan bom dan rentetan tembakan membabi buta di Cicadas. Korban makin banyak berjatuhan.
Pada 2 Januari 1946, konvoi Inggris dari Jakarta yang terdiri atas 100 truk tiba di Bandung. Bantuan dari Jakarta selalu mengalir untuk membantu pertahanan Sekutu yang ada di Bandung, sementara di pihak Republik bantuan pun tak kunjung henti dari berbagai daerah. Sekutu merasa tidak aman karena selalu mendapat serangan dari TKR, pemuda, dan rakyat Bandung. Pada 24 Maret 1946, Sekutu mengeluarkan ultimatum lagi kepada bangsa Indonesia yang masih mempunyai atau menyimpan senjata, bahwa pada malam minggu harus sudah meninggalkan seluruh Bandung. Dengan demikian, garis demarkasi yang telah dibuat itu tidak digunakan lagi. Ultimatum itu berakhir sampai tengah malam Senin 24-25 Maret 1946.
Secara lisan, pihak Sekutu meminta untuk mengawasi daerah dengan radius 11 km sekitar Bandung. TKR dan pasukan lainnya meminta waktu 10 hari karena penarikan TKR dalam waktu singkat tidak mungkin, namun tuntutan itu tidak disetujui. Dengan demikian, pertempuran sulit untuk dihindarkan. Ribuan orang mulai meninggalkan kota Bandung. Bulan Februari sampai Maret 1946, Bandung telah berubah menjadi arena pertempuran.
Ultimatum agar Tentara Republik Indonesia (TRI) meninggalkan kota dan rakyat, melahirkan politik "bumihangus". Rakyat tidak rela Kota Bandung dimanfaatkan oleh musuh. Mereka mengungsi ke arah selatan bersama para pejuang. Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan perjuangan, pada 24 Maret 1946.
Kolonel Abdul Haris Nasution selaku Komandan Divisi III, mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan untuk meninggalkan Kota Bandung. Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang meninggalkan kota. Malam itu pembakaran kota berlangsung besar-besaran. Api menyala dari masing-masing rumah penduduk yang membakar tempat tinggal dan harta bendanya, kemudian makin lama menjadi gelombang api yang besar. Setelah tengah malam kota telah kosong dan hanya meninggalkan puing-puing rumah yang masih menyala.
Pembumihangusan Bandung tersebut merupakan tindakan yang tepat, karena kekuatan TRI tidak akan sanggup melawan pihak musuh yang berkekuatan besar. Selanjutnya TRI melakukan perlawanan secara gerilya dari luar Bandung. Peristiwa ini melahirkan lagu "Halo-Halo Bandung" yang bersemangat membakar daya juang rakyat Indonesia.
Seperti yang diberitakan Kantor Berita ANTARA: “Berita yang diterima siang hari ini menyatakan sebagai berikut: Bandung menjadi lautan api. Gedung-gedung dari jawatan-jawatan besar hancur, di antaranya kantor telpon, kantor pos, jawatan listrik. Sepanjang jalan Pangeran Sumedang, Cibadak, Kopo, puluhan rumah serta pabrik gas terbakar. Semua listrik, penerangan di daerah Bandung putus, yakni Banjaran, Ciperu, dan Cicalengka. Yang masih berjalan hanya listrik penerangan daerah Pengalengan. Lebih lanjut dikabarkan, bahwa Inggris mulai menyerang pada 25 Maret pagi, sehingga terjadi pertempuran sengit yang masih berjalan sampai saat dibikinnya berita ini” (Sumber: Berita ANTARA, 26 Maret 1946).
Bandung sengaja dibakar oleh tentara Republik. Hal ini dimaksudkan agar Sekutu tidak dapat menggunakannya lagi. Di sana sini asap hitam mengepul membumbung tinggi di udara. Semua listrik mati. Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran sengit terjadi. Pertempuran yang paling seru terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat pabrik mesiu yang besar milik Sekutu. TKR bermaksud menghancurkan gudang mesiu tersebut. Untuk itu diutuslah pemuda yang bernama Muhammad Toha dan Ramdan. Kedua pemuda itu berhasil meledakkan gudang tersebut dengan granat tangan. Gudang besar itu meledak dan terbakar, tetapi kedua pemuda itu pun ikut terbakar di dalamnya.
Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi keselamatan maka pada jam 21.00 itu juga ikut keluar kota. Sejak saat itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan kosong dari tentara. Tetapi api masih membumbung masih membakar Bandung. Kini Bandung berubah menjadi lautan api. Rakyat berduyun-duyun meninggalkan Bandung Selatan untuk mengungsi ke desa-desa. Sekutu tetap melancarkan serangan-serangan tapi jauh di utara ditujukan ke selatan. Sampai saat itu, hanya 16.000 orang pribumi yang tinggal di Bandung Utara, padahal sebelumnya daerah itu berpenduduk 100.000 jiwa.

Tanam paksa seperti gabus untuk mengapung

Setelah kembali menguasai Indonesia, pemerintahan Belanda dipegang oleh tiga orang komisaris Jenderal yaitu Elout, Van der Capellen dan Buyskes. Keuangan Belanda merosot karena selain kerugian VOC yang harus dibayar, juga karena biaya yang amat besar untuk menghdapi perang Diponegoro dan perang Paderi. Sementara di Eropa, Belgia memisahkan diri pada 1830 padahal daerah industri banyak di wilayah Belgia.
Untuk mengatasi kesulitan ekonomi tersebut maka diberangkatkanlah Johannes Van den Bosch sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda dengan tugas meningkatkan penerimaan negara untuk mengatasi masalah keuangan Bagaimana cara Van den Bosch meningkatkan penerimaan negara? Ia memberlakukan sistem tanam yang kemudian menjadi tanam paksa. Peraturan tanam paksa yang dikeluarkan Van den Bosch mewajibkan rakyat membayar pajak dalam bentuk hasil pertanian (inatura) khususnya kopi, tebu dan nila. Dengan demikian akan diperoleh barang eksport yang banyak untuk dikirim ke Belanda dan dijual ke Eropa serta Amerika. Dalam tanam paksa itu terdapat beberapa ketentuan pokok, yaitu:
1. Penduduk diharuskan menyediakan sebagian tanahnya untuk tanaman yang laku dijual (dieksport) ke Eropa.
2. Tanah yang dipergunakan tidak melebihi 1/5 tanah yang dimiliki penduduk desa.
3. Waktu untuk memelihara tanaman tidak melebihi waktu yang diperlukan untuk memelihara tanaman padi.
4. Bagian tanah yang ditanami tersebut bebas pajak.
5. Bila hasil bumi melebihi nilai pajak yang harus dibayar rakyat maka kelebihan hasil bumi tersebut diberikan kepada rakyat.
6. Jika gagal panen yang tidak disebabkan oleh kesalahan petani maka kerugian di tanggung pemerintah
7. Penduduk yang bukan petani wajib bekerja di kebun, pabrik atau pengangkutan untuk kepentingan Belanda.
Apakah peraturan tanam paksa tersebut dijalankan dengan baik oleh para Bupati, Kepala desa dan pegawai Belanda yang lain? Jika
tanam paksa diterapkan sesuai peraturan tidaklah terlalu membebani rakyat. Dalam praktiknya terjadi banyak penyimpangan sehingga rakyatlah yang menjadi korban. Mengapa demikian? Karena adanya iming-iming agar para Bupati, Kepala desa serta pegawai Belanda yang bekerja dengan sungguh-sungguh akan diberi perangsang yang disebut Culture procenten yaitu bagian (prosen) dari tanaman yang disetor sebagai bonus selain pendapatan yang biasa mereka terima.
Contoh penyimpangan adalah tanah yang dipakai bisa lebih dari 1/5 bagian, selisih harga tidak diberikan ke petani, kegagalan panen ditanggung petani. Rakyat masih diwajibkan kerja rodi. Dengan penyimpangan tersebut para aparat pemerintah dan Bupati dapat mengumpulkan Cultur procenten yang banyak untuk memperkaya diri di atas penderitaan rakyat. Terjadi kemiskinan, kelaparan dan kematian. Contoh di Cirebon (1844), Demak (1848), Grobogan
Purwodari (1849).
Adakah dampak positi
f tanam paksa? Bagi bangsa Indonesia mulai dikenal tanaman baru serta cara memeliharanya serta meningkatkan pengairan.
Penyimpangan terhadap aturan tanam paksa menimbulkan reaksi. Hal ini mengakibatkan berbagai pihak menuntut agar sistem tanam paksa dihapuskan. Ada dua golongan yang bereaksi terhadap penyimpangan tanam paksa yaitu golongan humanis dan pengusaha.
1. Golongan humanis. Ada dua tokoh dari golongan ini yang sangat gigih berjuang untuk kemanusiaan yaitu: Yang pertama adalah Baron Van Houvel. Ia seorang pendeta yang mengungkapkan kesengsaraan rakyat akibat tanam paksa baik di majalah, forum pertemuan maupun di DPR Belanda. Yang kedua adalah duard Douwes Dekker dengan nama samaran Multatuli (berarti Aku yang banyak menderita). Ia menulis satu buku yang berjudul Max Havelaar
atau Lelang kopi Persekutuan Dagang Belanda tahun 1859. Dalam bukunya ia melukiskan penderitaan rakyat akibat tanam paksa.
2. Golongan pengusaha swasta Belanda yang menghendaki adanya kebebasan berusaha di Indonesia melalui sidang Parlemen di Belanda.
Dampak kritikan tersebut tanam
paksa mulai dihapuskan secara bertahap, salah satunya penghapusan tanaman nila, teh dan kayu manis pada 1865 karena kurang menguntungkan. Kemudian berturut-turut pada 1866 tembakau, pada 1884 tebu, dan terakhir adalah pada 1916 kopi.
Tanam paksa berhasil menutup defisit dan meningkatkan kemakmuran bangsa Belanda. Sehingga tepatlah ungkapan yang berbunyi “Indonesia adalah gabus tempat mengapung“ bagi Belanda.

Mengapa VOC bubar?

Ketika VOC berkuasa di Nusantara, untuk melaksanakan kekuasaannya itu diangkatlan jabatan Gubernur Jenderal VOC antara lain Pieter Both, ia merupakan Gubernur Jenderal VOC pertama yang memerintah tahun 1610–1619 di Ambon. Yang kedua adalah Jan Pieterzoon Coen, merupakan Gubernur Jenderal kedua yang memindahkan pusat VOC dari Ambon ke Jayakarta (Batavia). Karena letaknya strategis di tengah-tengah Nusantara memudahkan pelayaran ke Belanda.
Setelah berpusat di Batavia, VOC melakukan perluasan kekuasaan dengan pendekatan serta campur tangan terhadap kerajaan-kerajaan di Indonesia antara lain Mataram, Banten, Banjar, Sumatra, Gowa (Makasar) serta Maluku. Akibat hak monopoli yang dimilikinya. VOC memaksakan kehendaknya, sehingga menimbulkan permusuhan dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara. Untuk menghadapi perlawanan bangsa Indonesia VOC meningkatkan kekuatan militernya serta membangun benteng-benteng seperti di Ambon, Makasar, Jayakarta dan lain-lain.
Dalam usahanya memonopoli perdagangan, Belanda/VOC memiliki berbagai cara, antara lain:
1. Melakukan pelayaran hongi untuk memberantas penyelundupan. Tindakan yang dilakukan VOC adalah merampas setiap kapal penduduk yang menjual langsung rempah-rempah kepada pedagang asing seperti Inggris, Perancis dan Denmark. Hal ini banyak dijumpai di pelabuhan bebas Makasar. Hongi adalah nama jenis perahu di Maluku yang bentuknya panjang dipakai untuk patroli laut Belanda yang didayung secara paksa oleh penduduk setempat.
1. Melakukan Ekstirpasi yaitu penebangan tanaman, milik rakyat. Tujuannya adalah mepertahankan agar harga rempah-rempah tidak merosot bila hasil panen berlebihan (over produksi). Ingat hukum ekonomi!
2. Perjanjian dengan raja-raja setempat terutama yang kalah perang wajib menyerahkan hasil bumi yang dibutuhkan VOC dengan harga yang ditetapkan VOC. Penyerahan wajib disebut Verplichte Leverantien
3. Rakyat wajib menyerahkan hasil bumi sebagai pajak, yang disebut dengan istilah Contingenten
Seiring dengan perubahan permintaan dan kebutuhan di Eropa dari rempah-rempah ke tanaman industri yaitu kopi, gula dan teh maka pada abad 18 VOC mengalihkan perhatiannya untuk menanam ke tiga jenis barang komoditi tersebut. Misalnya tebu di Muara Angke (sekitar Batavia), kopi dan teh daerah Priangan.
Dalam melaksanakan pemerintahan VOC banyak mempergunakan tenaga Bupati. Sedangkan bangsa Cina dipercaya untuk pemungutan pajak dengan cara menyewakan desa untuk beberapa tahun lamanya.
Pada pertengahan abad ke 18 VOC mengalami kemunduran karena beberapa sebab. Kemunduran ini mengakibatkan dibubarkannya VOC. Di antara beberapa penyebabnya adalah:
1. Banyak pegawai VOC yang curang dan korupsi.
2. Banyak pengeluaran untuk biaya peperangan contoh perang melawan Hasanuddin dari Gowa.
3. Banyaknya gaji yang harus dibayar karena kekuasaan yang luas membutuhkan pegawai yang banyak.
4. Pembayaran Devident (keuntungan) bagi pemegang saham turut memberatkan setelah pemasukan VOC kekurangan.
5. Bertambahnya saingan dagang di Asia terutama Inggris dan Perancis.
6. Perubahan politik di Belanda dengan berdirinya Republik Bataaf 1795 yang demokratis dan liberal menganjurkan perdagangan bebas.
Akhirnya VOC dibubarkan pada 31 Desember 1799 dengan hutang 136,7 juta gulden dan kekayaan yang ditinggalkan berupa kantor dagang, gudang, benteng, kapal serta daerah kekuasaan di Indonesia.



Sebutir kurma pengganjal doa

Selesai menunaikan ibadah haji, Ibrahim bin Adham berniat ziarah ke masjidil Aqsa. Untuk bekal di perjalanan, ia membeli satu kilogram kurma dari pedagang tua di dekat masjidil Haram. Setelah kurma ditimbang dan dibungkus, Ibrahim melihat sebutir kurma tergeletak di dekat timbangan. Menyangka kurma itu bagian dari yang ia beli, Ibrahim memungut dan memakannya.
Setelah itu ia langsung berangkat menuju Al Aqsa. Empat Bulan kemudian, Ibrahim tiba di Al Aqsa. Seperti biasa, ia suka memilih tempat beribadah di ruangan di bawah kubah Sakhra. Ia shalat dan berdoa khusuk sekali. Tiba tiba ia mendengar percakapan dua Malaikat tentang dirinya. "Itu, Ibrahim bin Adham, ahli ibadah yang zuhud dan wara yang doanya selalu dikabulkan ALLAH SWT," kata malaikat yang satu. "Tetapi sekarang tidak lagi. doanya ditolak karena empat bulan yg lalu ia memakan sebutir kurma yang jatuh dari meja seorang pedagang tua di dekat masjidil haram," jawab malaikat yang satu lagi. Ibrahim bin adham terkejut sekali, ia terhenyak, jadi selama empat bulan ini ibadahnya, shalatnya, doanya dan mungkin amalan-amalan lainnya tidak diterima oleh ALLAH SWT gara-gara memakan sebutir kurma yang bukan haknya. "Astaghfirullahal adzhim" Ibrahim beristighfar.
Ia langsung berkemas untuk berangkat lagi ke Mekkah menemui pedagang tua penjual kurma. Untuk meminta dihalalkan sebutir kurma yang telah ditelannya. Begitu sampai di Mekkah ia langsung menuju tempat penjual kurma itu, tetapi ia tidak menemukan pedagang tua itu melainkan seorang anak muda. "Empat bulan yang lalu saya membeli kurma di sini dari seorang pedagang tua. kemana ia sekarang?" tanya Ibrahim. "Sudah meninggal sebulan yang lalu, saya sekarang meneruskan pekerjaannya berdagang kurma" jawab anak muda itu. "Innalillahi wa innailaihi roji'un, kalau begitu kepada siapa saya meminta penghalalan?" Lantas ibrahim menceritakan peristiwa yg dialaminya, anak muda itu mendengarkan penuh minat. "Nah, begitulah" kata ibrahim setelah bercerita, "Engkau sebagai ahli waris orangtua itu, maukah engkau menghalalkan sebutir kurma milik ayahmu yang terlanjur kumakan tanpa izinnya?" "Bagi saya tidak masalah. Insya ALLAH saya halalkan. Tapi entah dengan saudara-saudara saya yang jumlahnya 11 orang. Saya tidak berani mengatas nama kan mereka karena mereka mempunyai hak waris sama dengan saya." "Di mana alamat saudara-saudaramu? biar saya temui mereka satu persatu." Setelah menerima alamat, ibrahim bin adham pergi menemui. Biar berjauhan, akhirnya selesai juga. Semua setuju menghalakan sebutir kurma milik ayah mereka yang termakan oleh ibrahim. Empat bulan kemudian, Ibrahim bin adham sudah berada di bawah kubah Sakhra.
Tiba tiba ia mendengar dua malaikat yang dulu terdengar lagi bercakap cakap. "Itulah ibrahim bin adham yang doanya tertolak gara gara makan sebutir kurma milik orang lain." "O, tidak.., sekarang doanya sudah makbul lagi, ia telah mendapat halalan dari ahli waris pemilik kurma itu. Diri dan jiwa Ibrahim kini telah bersih kembali dari kotoran sebutir kurma yang haram karena masih milik orang lain. Sekarang ia sudah bebas."
Dari cerita di atas kita tarik kesimpulan, makanan akan menjadi darah dan daging, akan selau manunggal dengan jiwa kita, kalau makanan itu tidak bersih semua aktifitas akan kena dampaknya"

Selasa, 14 April 2009

Air untuk Batavia

Tahukah anda bahwa Batavia pada abad XVII memerlukan air yang harus didatangkan dari luar Jawa? Ya, tidak tanggung-tanggung, air itu bukan didatangkan dari Sumatera, Bali, Madura, atau pulau-pulau lain yang berdekatan dengan Pulau Jawa, tetapi dari Pulau Banda Besar di Kepulauan Banda Neira. Dulu Pulau Banda Besar dikenal dengan nama Lontor.
Sejak Belanda dapat mengusir Portugis dari kepulauan ini, mereka banyak mendirikan bangunan bertahahan atau benteng. Salah satunya adalah Benteng Combir. Benteng ini tepatnya berada di Desa Lontor, Pulau Banda Besar, Kecamatan Banda Neira, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku.
Bangunan ini berfungsi sebagai tempat tinggal dan sarana akomidasi baga para pengunjung. Selain itu, bangunan ini juga berfgungsi sebagai pertahanan tambahan. Bangunan ini terdiri atas delapan sampai sepuluh ruang yang berukuran besar (hampir seperti ruang dansa). Lantainya terbuat dari campuran batu dan kapur, dan kadang-kadang dicampur dengan gula. Kemudian di upam, sehingga menyerupai marmer atau granit. Terasnya juga berukuran besar.
Combir adalah salah satu “Voorwal” yang memiliki aliran air yang dilengkapi redout yang memiliki nama yang sama. Sumur dibangun sebagai cadangan air saat musim kering. Pada 1663, Gubernur Joan van Dam mengambil inisiatif untuk membangun redout sebagai bangunan pertahanan untuk melindungi sumur ini. Pada 1664 satu “moat” dibangun dengan kedalaman 24 kaki di sekitar redout, dan enam meriam diletakkan di atasnya. Air itu dialirkan dengan menggunakan bambu ke kapal melalui pantai. Air itu sangat jenih dan segar. Setiap bulanya, berbarel-barel air dikirim ke Batavia untuk digunakan oleh gubernur jenderal dan keluargannya.
Saat ini Benteng Compir sudah hancur/tidak terlihat lagi, tetapi sumur yang cukup dalam dengan tembok yang tebal masih ada. Sumur ini sampai sekarang masih digunakan oleh masyarakat setempat.

Perang seumur hidup

Jika mengingat begitu sengitnya pertempuran pada Perang Dunia II, tidak terbayangkan bagaimana ketakutan yang dirasakan semua manusia pada saat itu. Tidak terkecuali para serdadu yang harus mengadu nyawa di medan perang. Ada sedikit cerita dari mencekamnya perang ini hingga beberapa serdadu harus bertahan hidup menyelamatkan diri dari kejamnya perang. Mereka bersembunyi sampai berpuluh tahun, hingga tidak tahu bahwa perang yang keji ini sudah berakhir. Berikut ini ada kisah dari tiga serdadu Jepang yang bertahan hidup seorang diri di hutan untuk menyelamatkan diri dari perang. Mereka adalah Teruo Nakamura, Hiroo Onada, dan Shoichi Yokoi.

Teruo Nakamura
Teruo Nakamura adalah salah satu serdadu Jepang pada Perang Dunia II yang tidak menyerah sampai pada 1974. Dia sebenarnya berkebangsaan Taiwan, dengan nama Attun Palalin. Nakamura lahir pada 1919, dia masuk ke dalam unit sukarelawan Takasago, yang merupakan bagian dari Ankatan Perang Kerajaan Jepang pada November 1943. Dia di tempatkan di Pulau Morotai (sekarang masuk dalam provinsi Maluku Utara). Dalam pertempuran sengit di pulau itu, Nakamura dikabarkan tewas pada Maret 1945. Akan tetapi, sebenarnya Nakamura selamat dari perang yang sangat sengit itu. Dia berkelana di dalam hutan di pulau Morotai. Pada 1956 dia membangun gubuk kecil sebagai tempat berlindung.
Gubuk milik Nakamura tidak sengaja ditemukan oleh salah satu penerbang pada 1974. Kemudian, paa November 1974, Pemerintah Indonesia menghubungi kedutaan Jepang untuk membawa Nakamura kembali ke Jepang. Misi ini dilakukan oleh Angkatan Udara Republik Indonesia pada 18 Desember 1974. Setelah berhasil dijemput oleh TNI, Nakamura diterbangkan ke Jakarta. Setelah dipulangkan ke Jepang pada 27 Desember 1974, Nakamura memutuskan untuk kembali ke Taiwan, dan meninggal lima tahun kemudian, yaitu pada 1979 akibat kanker paru yang dideritanya.
Satu hal yang menarik, saat dia berhasil ditemukan olah TNI, Nakamura tidak mengucapkan satu patah kata pun, baik dengan bahasa Jepang ataupun Taiwan. Kemungkinan hal ini akibat terlalu lama hidup dalam kesendirian selama 30 tahun. Nakamura tinggal di pulau Morotai dari 1944 hingga 1974. Sungguh luar biasa Nakamura.

Hiroo Onoda
Usianya kala itu masih 23 tahun. Hiroo Onoda termasuk di antara serdadu-serdadu Jepang yang diterjunkan ke Pulau Lubang, pulau kecil di barat Filipina. Menjelang keberangkatan, sang komandan menegaskan kepada mereka: "Kalian dilarang menyerah pada kematian. Entah tiga tahun atau lima tahun, kami akan kembali untuk menjemput kalian. Bertempurlah hingga saat itu dan bahkan jika pasukanmu hanya tinggal satu orang. Jika di sana hanya ada kelapa, hiduplah hanya dengan kelapa. Tidak ada alasan untuk menyerah atau mengakhiri hidup!" Onoda memegang teguh janji sang komandan, hingga 29 tahun kemudian.
Beberapa bulan kemudian, tentara sekutu menyerang pulau tersebut. Onoda dan teman-temannya terpukul mundur. Mereka tercerai-berai dan melarikan diri ke dalam hutan. Di hutan itulah mereka hidup seadanya. Kadang-kadang mereka turun ke desa untuk mencuri makanan.
Pada Agustus 1945, Onoda dan kawan-kawan menerima pesan dari penduduk desa bahwa perang telah usai. Berulang kali pesawat Amerika menabur selebaran yang memerintahkan para serdadu Jepang keluar dari persembunyian mereka karena perang telah usai.
Onoda dan kawan-kawannya tidak mau percaya begitu saja. Mereka menduga itu hanyalah taktik licik Amerika untuk memaksa mereka keluar.
Satu per satu rekan Onoda akhirnya menyerah atau meninggal. Bahkan pada tahun 1953, mereka tinggal tersisa dua orang, Onoda dan Kozuka. Keduanya bertahan hidup bertahun-tahun di pulau tersebut, menolak untuk menyerah. Hingga akhirnya pada Oktober 1972, sembilan belas tahun kemudian, Kozuka tewas ditembak polisi Filipina ketika sedang mencuri makanan.
Berita tewasnya Kozuka disampaikan ke Jepang. Pemerintah Jepang pun menduga bahwa masih ada beberapa serdadu Jepang yang bersembunyi di pulau tersebut. Tim pencari pun dikerahkan namun mereka tidak berhasil menemukan Onoda.
Seorang mahasiswa Jepang bernama Norio Suzuki terobsesi dengan cerita tersebut. Maka pada 1974 dia pun memutuskan seorang diri berangkat ke Pulau Lubang untuk mencari serdadu Jepang yang tersisa.
Suzuki berhasil bertemu dengan Onoda dan membujuknya pulang ke Jepang. Namun Onoda terus menolak. Dengan alasan dia hanya mau menyerah apabila diperintahkan oleh sang komandan.
Dua minggu kemudian Suzuki kembali ke Pulau Lubang bersama Mayor Taniguchi, salah seorang perwira tinggi Jepang pada Perang Dunia II. Pada waktu itu, Mayor Taniguchi sudah alih profesi menjadi seorang pedagang buku. Lewat pengeras suara, Taniguchi menyerukan kepada Onoda untuk segera menyerah karena Jepang sudah kalah perang. Dengan berpakaian lengkap, Onoda mengakhiri pertempuran selama hampir 30 tahun.
Onoda kembali ke Jepang namun dia terkejut melihat kemajuan Jepang. Terlalu banyak yang berubah. Dia tidak mampu beradaptasi dengan kehidupan di negaranya hingga akhirnya dia pun memutuskan pindah ke Brazil untuk mengurus sebuah peternakan kuda.

Shoichi Yokoi
Shoichi Yokoi adalah seorang tentara Jepang yang bertahan di hutan di pulau Guam selama 28 tahun. Ia menjadi tentara Kekaisaran Jepang pada 1941. Kemudian ia dikirim ke Pulau Guam. Jepang menyebut pulau ini dengan Omiya Jima. Yokoi tinggal dalam sebuah lubang dalam tanah yang ditutupi dengan pintu yang terbuat dari bamboo. Yokoi tinggal di luang itu sejak berakhirnya Perang Dunia II hingga 24 Januari 1972. Dia ditemukan olah penduduk desa yang sedang berburu di dekat sungai Talofofo.
Shoici Yokoi ditugaskan di gunung Fena, yang di bawahnya terdapat sungai Talofofo, saat tentara Amerika mendarat pada 21 Juli. Dalam bertahan hidup Yokoi membuat pakaian dari serat dan tumbuhan dan kulit kayu, serta memakan buah-buahan seperti kelapa dan papaya, sedangkan protein ia dapatkan dari bekicot, katak dan tikus.
Saat ia kembali ke Jepang, ia mengatakan "Rasanya malu sekali saya kembali dalam keadaan hidup". Shoici Yokoi kembali dengan membawa senjatanya yang sudah berkarat. Shoichi Yokoi meninggal pada Senin jam 5.07, 22 September 1997 karena kelainan jantung di JR Tokai Generel Hospital di Nagoya, Jepang dalam usia 82 tahun.

Selasa, 07 April 2009

Ponari dan beliung persegi

Beberapa waktu lalu saya dan teman mendapat tugas untuk mencari data di Balai Arkeologi (Balar) Bandung. Sesampainya di sana kami bertemu dengan para arkeolog. Dalam perbincangan kami yang sebagian besar bertemakan benda cagar budaya, akhirnya sampailah ke satu topik yang beberapa waktu lalu sempat ramai. Ponari, itu yang menjadi salah satu pembicaraan kami. Dukun cilik ini begitu fenomenal. Air kobokannya diburu banyak orang. Konon air itu sangat berkhasiat. Bahkan saat pihak berwajib melarang Ponari berpraktik. Masyarakat berebut untuk mendapat air comberan bekas mandi Ponari. Luar biasa memang. Ponari dalam mengobokan tangannya ke dalam air dalam ember yang dibawa pengunjung selalu memegang satu batu. Di telivisi tidak jelas batu apakah itu. Dalam pembicaraan kami dengan para arkeolog dari Balar Bandung itu, ternyata batu tersebut adalah batu yang berbentuk persegi yang dibuat dari batu setengah permata. Dalam arkeologi prasejarah, batu tersebut disebut dengan beliung persegi. Benarkah Ponari menggunakan beliung persegi prasejarah untuk membuat air menjadi berkhasiat?

Tahun 2006 dan 2007 saya sempat mengikuti penggalian arkeologi di Kerawang. Selain penggalian, kami pun melakukan survei permukaan di wilayah sekitarnya. Salah satunya Buni. Buni merupakan daerah yang sangat kaya temuan prasejarahnya. Sewaktu kami berkunjung, kami banyak sekali menemukan pecahan gerabah di lahan-lahan kebun milik penduduk. Konon di daerah ini pun banyak ditemukan emas. Benar saja, saat kami asik melakukan survei permukaan, tiba-tiba seorang ibu memanggil suaminya, dan memberitahukan bahwa ia telah menemukan sebutir emas yang menempel pada akar sayuran yang barusaja dicabutnya. Emas itu tidak terlalu besar, tapi jelas emas itu merupakan artefak yang dibuat oleh manusia pada masa lampau.

Ternyata, ibu ini pun memberitahukan bahwa beberapa keluarga di sekitarnya menyimpan beberapa butir emas yang mereka temukan di lahan kebun mereka. Salah satu butir emas yang sangat cantik berbentuk seperti bunga lengkap dengan kelopaknya. Ukuranya tidak besar, berdiameter sekitar 3 milimeter.

Saat kami survei dan mewawancarai penduduk, banyak penduduk berkumpul untuk melihat. Kami serasa jadi tontonan. Dan yang menarik lagi, beberapa anak yang ikut berkumpul, sedang bermain handphone-handphonan dengan menggunakan beliung persegi. Mmmm. Luar biasa, situs Buni memang memiliki banyak tinggalan arkeologi, terutama prasejarah. Begitu banyaknya, sampai artefak gerabah pun serasa tidak ada nilainya.

Saya hanya coba menghubungkan antara Ponari dengan batu ajaibnya dan anak-anak di Buni dengan "handphone"nya yang juga berupa beliung persegi. Ponari, dan juga anak-anak lain hanyalah anak-anak yang sedang menikmati masah kanak-kanaknya. Mereka asik bermain dengan properti yang mereka dapat dari lingkungan di sekitar mereka. Kadang, mereka ciptakan sendiri mainan-mainan yang dapat membuat mereka asik bermain. Coba lihat anak-anak di kota-kota besar, mereka sudah tidak kreatif lagi. Mungkin saya salah. Tapi anak-anak kota lebih senang bermain dengan mainan yang sudah jadi atau asik berlama-lama dengan playstation. Masihkah ada Ponari-Ponari lain di sekitar kita, tentunya kita harapkan ada. Bukan untuk menjadi dukun cilik, tetapi sebagai anai-anak yang merdeka, kreatif, dan arif terhadap lingkungan.

Salam
Ivan Efendi

Samurai untuk Kompeni: Sekilas tentang Benteng Nassau di Pulau Neira

Pada 1607 di atas pondasi benteng Portugis kuno dibangun benteng Nassau oleh Laksamana Belanda, Verhoeven. Benteng Nassau merupakan bangunan pertahanan pertama VOC di kepulauan Hindia Belanda (yang kemudian menjadi kepulauan Indonesia). Saat ini Benteng Nassau berada di Pulau Neira, Desa Nusantara, Kecamatan Banda Neira, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku.
Pada 8 April 1609 Laksamana Pieterszoon Verhoeven tiba di Kepulauan Banda dengan 13 kapal mengangkut lebih kurang 1000 serdadu. Sebagian besar merupakan serdadu Belanda, dan sebagian lagi serdadu bayaran dari Jepang. Laksamana Verhoeven melakukan perundingan dengan Orang Kaya untuk membangun benteng dan pos perdagangan. Akan tetapi penduduk Kepulauan Banda (Pulau Neira) yang diwakili Orang Kaya (Orang kaya adalah gelar tradisional/etnis/kesukuan di Kepulauan Banda) menolak. Akibatnya Laksamana Verhoeven menggunakan kekerasan, sehingga pembangunan Benteng Nassau dapat dilaksanakan. Pembangunan benteng ini mulai dilaksanakan dengan menggunakan 700 serdadu dan memanfaatkan fondasi benteng Portugis yang tidak jadi dibangun.
Pelaksanaan pembangunan benteng ini sangat pesat, maka Orang Kaya menyarankan dilaksanakan perundingan. Perundingan pun dapat dilaksanakan pada 22 Mei 1609, namun berakhir dengan pertempuran yang menewaskan beberap puluh orang Belanda dan menawan beberapa yang hidup. Laksamana Verhoeven pun tewas. Kemudian diangkat laksamana baru yang bernama Simon Janszoon Hoen. Kemudian Ia mempercepat pembangunan benteng, karena diduga akan datang serangan lagi.
Awal Juli 1609 Laksamana Hoen mengadakan ekspedisi penghukuman dan penyerangan ke kampung-kampung yang berada di pantai. Ia menangkap dan membakar perahu-perahu serta merampas harta kekayaan penduduk. Karena keberhasilan ini, maka Belanda mulai mengirimkan satu pasukan yang terdiri atas sedadu dan pelaut untuk meyerang benteng penduduk di Salamme. Benteng ini dipertahankan dengan gagah berani. Akibatnya Belanda mengalami kekalahan dengan tewasnya 9 serdadu dan tujuh puluh orang lainnya luka berat.
Kemudian Laksamana Hoen mengubah taktik dengan memblokade pantai guna menghalangi masuknya bahan makanan. Akhirnya masyarakat Banda pun menyetujui dokumen hijum pada 13 Agustus 1609. Dokumen ini amat mengikat penduduk Banda. Mengira dengan hukum ini Belanda telah kuat, maka Laksamana Hoen pergi meninggalkan Kepulauan Banda dengan pasukan yang cukup untuk menjaga Benteng Nassau. Masih pada tahun yang sama, Gubernur Jenderal VOC, Pieter Both, kemudian memugar Benteng Nassau.
Pada 1612 ada catatan yang menyebutkan bahwa di Benteng Nassau terdapat 26 meriam, dan 48 bejana yang separuhnya berisi mesiu. Lima tahun kemudian, yaitu pada 1617, pamor Benteng ini tersebar ke seluruh pelosok dunia.
Pada 8 Mei 1622 di Benteng Nassau terjadi pembantaian sejumlah Orang Kaya di Banda. Di sebelah dalam pagar benteng sejumlah orang tertuduh (terdiri atas orang kaya) diikat menjadi dua kelompok sesuai berat-ringannya tindak kejahatan yang telah mereka lakukan. Tak ada orang lain yang boleh masuk; lalu oleh 6 orang Jepang dengan pedang tajam, masing-masing dari para tahanan itu dibelah dua, kepala mereka dipenggal, tubuh mereka dipotong empat. Sebelum menemui ajalnya, salah seorang di antara para terhukum sempat bertanya, “Mijne Heeren, en isser dan geen genade?” (Tuanku, apa tidak ada pengampunan?). Kepala-kepala yang dipenggal itu ditancapkan di atas ujung bambu dan potongan-potongan tubuh ditempel pada batang bambu.
Pada 1684 rumah tinggal gubernur dan kepala perdagangan yang dibangun di dalam Benteng Nassau terkoyak, sehingga kemudian bangunan-bangunan tersebut dipindahkan ke luar benteng. Pamor benteng ini pun turun sesudah Benteng Belgica dibangun di satu bukit di atas Benteng Nassau.
Benteng Nassau ini juga dikenal sebagai “waterkasteel”. Bangunan utama berbentuk empat persegi, yang dilengkapi dengan empat bastion menghadap ke laut. Dua di antaranya masih bisa dilihat reruntuhannya; yaitu Bastion Admiraalspunt di Barat Daya dan Bastion Rotterdam di Tenggara. Kedua bastion ini menghadap ke laut. Sementara dua bastion yang menghadap ke daratan adalah Bastion Zeelandia (di kemudian hari diganti namanya menjadi Bastion Hoorn) serta bastion Delft. Dua bastion terakhir ini kini telah hancur.
Pada 1617 di bastion yang terletak di sisi kiri benteng, tergores tulisan dan angka “Anno 1617”. Di depan benteng ketika itu terdapat rumah tinggal gubernur dan sejumlah bangunan lainnya. Jumlah tentara yang menjaga benteng dan tinggal di sekitar benteng adalah 150 orang. Selain itu, banyak bangunan tambahan dibangun, terutama gudang tempat menyimpan hasil bumi, beras dan amunisi. Akan tetapi benteng itu sendiri kurang dipelihara atau dipugar.
Pada 1810, Benteng Belgica telah diduduki Inggris, dan akhirnya Benteng Nassau pun dapat ditaklukkan. Sejak saat itu benteng-benteng di Pulau Neira tidak lagi berfungsi sebagai bangunan pertahanan militer. Benteng ini sempat dipugar untuk digunakan sebagai gudang, tetapi kemudian kembali rusak. Pada 1824, ketika Gubernur Jenderal Belanda yang bernama Baron van der Capellen tiba di Banda, Benteng Nassau sudah tidak terpelihara, gedung-gedung di dalam benteng dan bagian-bagian dinding luarnya yang semula bagus, telah runtuh akibat serangan Inggris dan gempa bumi yang terdadi pada 1820.
Belanda berusaha memanfaatkan kembali Benteng Nassau. Pada 1860, Ketika Gubernur Jenderal Charles Ferdinand Pahud tiba di Banda, disebutkan bahwa sebagian narapidana dan orang-orang buangan ditempatkan dalam bangunan yang hampir runtuh di Benteng Nassau. Sementara menunggu penyelesaian pembuatan bangunan baru, karena bangunan lama telah hancur akibat gempa bumi.
Pada 1871, batu prasasti yang terdapat pada gerbang benteng dikirimkan ke Museum di Batavia.
Pada 1896–1902, selama paruh kedua abad XIX, benteng ini dikosongkan dan berfungsi sebagai tempat para pekerja paksa. Bata yang dahulu dipasang di lapangan dalam benteng, secara bertahap diambil dan dipergunakan untuk melapisi jalan-jalan di Banda. Selain itu, salah satu dari patung singa yang besar dipindahkan ke kelenteng Cina.