Senin, 18 Februari 2013

Museum R.A. Kartini Rembang

Penambahan kata ‘Rembang’ di belakang Museum R.A. Kartini hanya untuk membedakan dengan Museum R.A. Kartini Jepara. Oleh karena memang ada dua museum tentang R.A. Kartini. Museum R.A. Kartini Jepara sudah tentu ada di Jepara, yang lebih banyak “bercerita” tentang masa sebelum beliau menikah. Sementara Museum R.A. Kartini Rembang lebih banyai “bercerita” tentang kehidupannya setelah menjadi permaisuri bangsawan Rembang, dan perjuangannya dengan pena, tinta dan kertas.
Museum R.A. Kartini Rembang berada di Kabupetan Rembang, tepatnya di lokasi yang sekarang menjadi Kantor Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (Disbudparpora) Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Kota Rembang berada di jalur pantai utara (pantura), yang dekat dengan perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda jalur ini bernama Grotepostweg atau jalan raya pos, yang menghubungkan Semarang dan Surabaya. Jalan ini dibuat pada masa Tanam Paksa, dan merupakan bagian dari Jalur Jalan Raya yang dibuat pada masa Herman Willem Daendels. Jalan ini membentang dari Anyer (Banten) ke Panarukan (Gresik) yang dibuat dengan mengikuti garis pantai.[1]
Gedung museum beserta 133 koleksi adalah peninggalan R.A Kartini dan keluarga Bupati Rembang, KRM Adipati Ario Singgih Djojodhiningrat.[2] Jadi Museum R.A Kartini tidak hanya koleksinya yang bersejarah, melainkan bangunannya.

Signifikansi Bangunan Cagar Budaya: Arsitektur

Signifikansi Museum R.A. Kartini terlihat dari desain arsitekturnya. Bangunan Museum R.A Kartini sekilas terlihat berarsitektur khas Jawa dengan pendopo besar di bagian depannya. Namun sebenarnya ada unsur kolonial dari bangunan itu, yaitu pada bagian kolom yang tidak menggunakan kayu, tetapi bahan yang dibuat dari campuran kapur dan pasir[3]. Kolom-kolom bergaya Eropa itu berderet pada bagian luar pendopo dan di bagian ‘koridor’ di depan bangunan utama.
Tiang utama pendopo terbuat dari kayu berbentuk balok yang berukuran besar yang pada bagian dasarnya terdapat umpak. Balok-balok penyangga atap dicat warna hijau dan kuning. Ukurang tiang penyangga itu cukup tinggi, sehingga sirkulasi udara sangat baik dan membuat nyaman. Jauh
sekali dengan keaadan di luar yang sangat panas menyengat. Oleh karena memang lokasi Rembang yang berada di pesisir pantai utara Jawa.
Denah bangunan pendopo dan bangunan utama persegi empat. Bangunan utama terdiri atas beberapa ruang. Ruang utama berada di tengah. Di bagian kiri dan kanan adalah kamar tidur. Di belakang ruang utama ada ruang besar yang berdenah persegi panjang. Pada halaman sebelah kanan terdapat deretan kamar tempat para selir bupati. Kamar mandi ada di bagian kanan sebelah depan.
Pengaruh arsitektur Eropa juga terlihat pada pintu dan jendela yang tinggi. Bentuk pintu dan jendela seperti ini adalah hasil adaptasi arsitektur Eropa terhadap kondisi iklim tropis yang sangat panas dan lembab. Pintu dan jendela di bangunan utama dicat dengan warna hijau. Dindingnya berwarna putih dengan lantai yang terbuat dari susunan tegal yang indah. Ventilasi di atas pintu utama berukuran besar dan berhias ukiran yang sangat indah bercat emas.

Signifikansi Bangunan Cagar Budaya: Koleksi

Museum R.A. Kartini sebagai Bangunan Cagar Budaya memiliki nilai penting yang didukung dengan koleksinya yang dapat menceritakan sejarah dan nilai-nilai perjuangan R.A. Kartini. Koleksi-koleki itu memiliki konteks dengan bangunannya, sehingga nilai-nilai sejarah yang penting yang terkandung di dalamnya itu semakin terlihat.
Di antara pendopo dan ruang utama terdapat foto reproduksi R.A. Kartini yang berukuran cukup besar dengan bingkai berwarna emas. Pada bagian bawahnya dihias berbagai kuntum bunga. Di kamar yang berada si sebelah kiri terdapat satu ranjang kayu berukir. Satu meja berbentuk persegi panjang dengan marmer pada bagian atasnya. Meja ini berfungsi untuk merawat bayi.
Masih di tempat yang sama, ada satu meja rias berbentuk hampir seperti trapesium, yang pada bagian lebarnya tidak lurus, malainkan cembung. Seperti juga meja untuk merawat bayi, meja ini pun menggunakan marmer berwarna putih pada bagian atasnya. Di atas meja rias tersebut terdapat cermin berbentuk lingkaran yang gantungkan pada dinding.
Di kamar mandi di sebelah kanan depan terdapat bathtub peninggalan R.A. Kartini yang kondisinya masih sangat bagus. Bathtub ini berwarna putih berbentuk hampir persegi panjang, yang pada salah satu ujungnya membulat. Kran yang terbuat dari tembaga terdapat pada sisi lebar bagian dalam yang bergaris lurus. Di depan kamar mandi ini (dekat tiang) diletakan bekas closet yang digunakan oleh selir Bupati. Closet ini terbuat dari marmer dengan lubang berbentuk lingkaran di bagian tengahnya. Namun sayang, kondisinya sedikit rusak (pecah) pada salah satu sudutnya.
Di kamar lainnya terdapat reproduksi foto Kartini bersama Kardinah dan Roekmini. Foto tersebut juga dikirim kepada Ny. Rosita Manuela Abendanon-Mandri saat merayakan ulang tahunnya ke-44. Isi surat itu sebgai berikut.
“1 Agustus. Hari ulang tahun temanku manis yang tercinta. Selamat bahagia Sayang. Tiga sekawan mendoakan semoga Nyonya menemui duia kasih say ang dan dalam angan-angan kakak beradik memeluk Nyonya dengan mesra sambil menatakan semua perasaannya terhadap Nyonya.”
Foto reproduksi koleki KITLV lainnya adalah foto Roekmini dan Kartini dari foto koleksi KITLV Leiden. Foto ini dikirim bersama surat tertanggal 1 Agustus 1903 kepada Ny. Rosita Manuela Abendanon-Mandri dalam rangka ulang tahun yang ke-46. Pada bagian belakang foto itu Kartini membubuhkan tandatangannya. Isi surat adalah:
“Untuk Ibu kami tersayang dengan kasih yang tulus, dari putri-putrimu di Jepara, 1 Agustus 1903.”
Di ruang belakang terdapat satu set furnitur yang terdiri atas meja berbentuk lingkaran dan enam kursi dengan sandaran tegak. Semuanya dihias dengan ukuran yang sangat indah. Furnitur tersebut dibuat dari kayu jati, yang ternyata buatan baru. Pemandu menjelaskan bahwa duplikasi ini dibuat dengan mengacu pada data sejarah.
Di ruang ini juga terdapat foto nenek R.A. Kartini. Di bagian bawah foto tersebut ditulis “Eyang Putri R.A Kartini”, tidak jelas siapa namanya. Di sebelahnya terdapat foto kakeknya yang bernama RA. Condro Negoro ke IV (Eyang Kakung R.A. Kartini).
Masih di ruang yang sama, ada foto Roekmini, Kartini, Kartinah, dan Soematri yang berangka tahun 1903. Di sebelah kirinya terdapat keterangan sebagai berikut.
“Empat bersaudara berpose dengan kimono di Rembang. Adik-adik Kartinni menginap beberapa hari di Rembang menemani kakanya yang menempati rumahnya yang baru. di belakang foto ini, R.A Kartini menulis “dengan salam hangat”. Belum diketahui tanggal surat yang menyertai pengiriman foto ini kepada Ny. Rosita Manuela Abendanon-Mandri. Lanjutan tulisan Kartini adalah “perkenalan kami lebih lanjut dengan kakak ipar bertambah hari bertambah menyenangkan seperti yang kami harapkan. Dia orang laki-laki yang semangantnya dapat disebut gemilang, pengetahuan dunianya sangat luas dan di samping itu berhati amat lapang…” (surat Roekmini, 17 November 1903).”
Seperti halnya foto lainnya, foto ini juga merupakan reproduksi dari koleksi KITLV Leiden.
Di ruang ini ada dua karya seni yang dibuat oleh putra R.A Kartini, RM. Soesalit, berupa pahatan pada kayu. Satu karya Soesalit ini mengandung filosofi Jawa bertuliskan “Elinga, Urip iku gaduham, dradjat iku silihan, amal iku karya”. Penulis belum sempat menanyakan artinya, tapi kira-kira jika diterjemahkan oleh penulis yang Sunda tulen ini adalah “Ingat, hidup itu titipan, drajat itu bergantian, dan amal itu adalah prilaku”.
Di museum ini juga terdapat tulisan tangan R.A Kartini pada beberapa lembar kertas. Sayang kondisinya tidak terlalu baik. Tinta pada satu halaman menempel pada halaman lainnya sehingga tulisan hampir tidak terbaca. R.A. Kartini menulisnya dengan menggunakan bahasa Belanda berhuruf sambung italic. Di dekatnya ada buku tua yang cukup tebal. Pada sampulnya bertuliskan “DOOR DUISTERNES TOT LICHT”, yang pada bagian bawahnya tedapat keterangan bertuliskan “Habis Gelap Terbilah Terang (buah karya tulisan tangan R.A. Kartini)”. Koleksi lainnya adalah daftar silsilah keluarga R.A Kartini, radio, serta lukisan tiga angsa yang melambangkan Kartini beserta dua saudaranya (tiga kakak beradik).
Foto lainnya adalah R.A. Kartini bersama suaminya R.M. A.A Djojo Adhinigrat bertanggl 17 Desember 1903. Foto ini dikirim bersama surat pertamanya sejak menikah (8 November 1903) kepada Ny. Rosita. R.A Kartini tiba di Rembang pada 11 November 1903. Isi surat tersebut sebagai berikut.
“Alangkah iri Nyonya kepada saya kalau Nyonnya melihat bunga-bunga mawar kami di sini, setiap pagi saya membuat karangan bunga segar mawar ….. dan mawar kuning. Laut dapat kami lihat dari rumah, nyaman benar, bersama ini kami kirimkan potret terakhir kami berdua. Bagaimana saya sebagai Raden Ayu menurut Nyonya?
Di antara koleksi Museum R.A Kartini ini ada yang menarik, yaitu foto putranya yang diberi nama R.M. Singgih yang kemudian dikenal dengan mama R.M. Soesalit. Bayi Kartini ini lahir pada 13 September 1904, dan empat hari setelahnya R.A. Kartini wafat. Meskipun bayi kartini adalah laki-laki tetapi dalam foto tampak seperti perempuan. Oleh karena memang Kartini memakaikan pakaian bayi perempuan pada Soesalit. Menurut cerita dari pemandu, sebenarnya R.A. Kartini sangat menghendaki bayi perempuan, tetapi Tuhan berkendak lain. Foto ini dilengkapi keterangan tulisan R.A. Kartini yang berbunyi bertanggal 6 Maret 1904:
“Bila Tuhan mengizinkan pada akhir bulan September akan datanglah seorang utusan Tuhan akan memperindah bagi hidup kami yang sudah indah ini, akan memperteguh lebih mempererat tali silaturrahmi yang sekarang sudah mengikat kami berdua”.
Ada satu lagi foto reproduksi Soesalit dengan baju perempuan dan disertai surat bertanggal 6 Agustus 1904 yang isinya adalah sebagai berikut.
“Kalau anak yang saya kandung di bawah jantung hati saya ini perempuan, apakah yang lalu saya harapkan baginya? Saya akan berharap, mudah-mudahan hidupnya kaya dan berisi. Kehidupan yang telah dirintis ibunya, moga-moga dapat diteruskannya. Dia tidak akan dipaksa melakukan sesuatuu yang bertentangan dengan perasaan dalam lubuk hatinya. Apa yang dilakukan, akan dilakukan atas kemauan sendiri yang bebas”.
Foto lainnya adalah R.M. Soesalit yang mengenakan pakaian Jawa. Seperti foto-foto lainnya, foto inipun dilengkapi dengan keterangan berupa surat Kartini bertanggal 30 Juni 1904. Surat itu berbunyi
“sekarang saya sedang mempersiapkan pakaian bayi bagi calon cucu ibu. Adik-adik mengharapkan perempuan, suami saya mengharapkan laki-laki. Apabila lahir perempuan, kasih sayang saya akan berlipat, karena semuanya di sini mengharapkan laki-laki”.
Satu lagi foto Soesalit yang memakai pakaian seperti anak laki-laki bangsawan kebanyakan. Foto ini juga disertai surat, tetapi bukan dari ibunya, melainkan dari ayahnya, Djojo Adhiningrat yang berisi.
“Sementara itu bayinya sehat, segar dan kuat. Saya memberinya nama kecil saya, Raden Mas Singgih”.
Surat ini ditulis oleh Djojo Adhiningrat kepada J.H. Abendanon pada 25 September 1904. Selain surat, foto ini juga dilengkapi dengan catatan Kardinah bertanggal 16 Juli 1964 yang isinya adalah sebagai berikut.
“Yang mengasuh putera Soesalit, selain almarhum ibu Ngasirah, juga kekasih almarhum Bakyu Kartini, wanita tua bernama Mbok Mangunwikromo, tetapi tidak terus-menerus. Setelah Soesalit berumur 6 bulan, almarhum Ibu Ngasirah pulang ke Kabupaten Jepara diikuti oleh Mbok Mangunwikrumo. Adapun selanjutnya yang mengasuh Soesalit ialah keluarga Kabupaten Rembang didampingi akhli waris lainnya yang terhitung tua”.

Sigifikansi Sejarah: Perjuangan R.A. Kartini

Signifikansi sejarah R.A. Kartini terepresentasi dalam koleksinya yang menitikberatkan pada masalah gender[4]. Tentu penggunaan nama ‘R.A. Kartini’ di belakang kata ‘museum’ pun sudah pasti merujuk pada kata ‘perempuan’. Namun tidak hanya sampai di situ, ada beberapa koleksi yang dengan jelas mengarahkan kita pada adanya “pertentangan” antara perempuan dengan laki-laki. Meskipun tidak agresif memberontak, tetapi sekadar memberikan perlawanan melalui teks, bahasa, dan gambar. Inilah inti dari perjuangan R.A. Kartini yang harus dipahami sebagai nilai penting sejarah, dan mungkin juga identitas. Tidak hanya identitas ke-Rembangan, atau ke-Jeparaan, tetapi juga ke-Indonesiaan.
Bangunan Museum R.A Kartini adalah milik Bupati Rembang yang bernama R.M.A.A Djojo Adhiningrat. Sejak menikah R.A Kartini tinggal di rumah megah ini selama 11 bulan. Sungguh waktu yang sangat singkat. Sejak empat hari setelah kelahiran putranya, R.A Kartini wafat. Akan tetapi, bangunan yang sekarang menjadi museum ini tidak disebut sebagai Museum Djojo Adhiningrat, tetapi ‘Museum R.A. Kartini’. Jadi representasi gender terlihat dengan jelas dari panamaan museum ini.
Koleksinya pun didominasi koleksi yang berkonteks dengan R.A Kartini. Seperti keluarganya, barang-barang yang pernah dimilikinya, karyanya, dan foto buah hatinya. Di antara koleksi-koleksi Museum Kartini (dalam tata pamer permanen) ada foto-foto putra beserta surat yang menyertainya. Baik yang dibuat oleh Kartini sendiri, oleh suaminya, maupun catatan-catatan yang berkaitan dengan foto-foto tersebut. Foto dan surat tersebut sangat kental dengan kegenderan.
Foto pertama adalah reproduksi foto hitam putih koleksi KITLV Leiden. Dalam foto itu Soesalit duduk dikursi panjang (mungkin berbahan rotan) bersandar pada satu bantal berhias. Di sisi kiri dan kanannya ada guling kecil. Penulis akui bahwa selama ini belum pernah membaca mengenai sejarah R.A Kartini secara komprehensip. Jika pemandu tidak menjelaskan bahwa sebenarnya Soesalit itu adalah laki-laki mungkin penulis akan mengatakan “cantik sekali putri Kartini ini”. Coba sekali lagi kita simak surat Kartini yang ia tulis pada 6 Maret 1904:
“Bila Tuhan mengizinkan pada akhir bulan September akan datanglah seorang utusan Tuhan akan memperindah bagi hidup kami yang sudah indah ini, akan memperteguh lebih mempererat tali silaturrahmi yang sekarang sudah mengikat kami berdua”.
Surat yang Kartini tulis sekitar tujuh bulan sebelum kelahiran bayinya ini berisi harapan kebahagiaan akan hadirnya si buah hati. Akan tetapi tidak terlihat adanya kesan gender. Coba bandingkan dengan surat kedua yang ditulis pada 6 Agustus 1904
“Kalau anak yang saya kandung di bawah jantung hati saya ini perempuan, apakah yang lalu saya harapkan baginya? Saya akan berharap, mudah-mudahan hidupnya kaya dan berisi. Kehidupan yang telah dirintis ibunya, moga-moga dapat diteruskannya. Dia tidak akan dipaksa melakukan sesuatu yang bertentangan dengan perasaan dalam lubuk hatinya. Apa yang dilakukan, akan dilakukan atas kemauan sendiri yang bebas”.
Surat ini ditulis Kartini sebulan menjelang kelahiran putranya, ia berharap bahwa kelak bayi yang lahir adalah perempuan. Kedua ada pengharapan lain yang Kartini tumpukan pada buah hatinya itu, yaitu agar “putrinya”nya itu kaya dan berisi serta dapat meneruskan kehidupan yang telah Kartini rintis. Juga ada penekanan bahwa meskipun perempuan tetapi tidak dapat dipaksa untuk melakukann sesuatu yang bertentangan dengan nuraninya. Ia bebas melakukan atas kemauannya. Ini awal adalah perjuangan R.A. Kartini.
Dalam surat ketiga yang menyertai foto Soesalit berpakaian seperti laki-laki Jawa pada umumya masa itu. Menggunakan kain batik, bertelanjang kaki dengan baju bergaris duduk di kursi tegak. Dalam foto ini tidak terlihat ada representasi gender, tetapi lain dengan yang ia tuangkan dalam kalimat-kalimatnya.
“sekarang saya sedang mempersiapkan pakaian bayi bagi calon cucu ibu. Adik-adik mengharapkan perempuan, suami saya mengharapkan laki-laki. Apabila lahir perempuan, kasih sayang saya akan berlipat, karena semuanya di sini mengharapkan laki-laki”.
Dalam surat terebut jelas sekali bahwa Kartini lebih ‘berpihak’ pada perempuan, yang entah kebetulan atau tidak, didukung oleh saudaranya. Coba perhatian pada kalimat terakhir dari surat itu “Apabila lahir perempuan, kasih sayang saya akan berlipat, karena semuanya di sini mengarapkan laki-laki”. Ada keberpihakan kepada perempuan dengan penggunaaan kata “kasih sayang saya yang akan berlipat”, yang sekaligus juga memberikan perlawanan atas sesuatu yang seolah lazim di tempat yang bukan miliknya itu dengan kata “karena semuanya di sini mengharapkan laki-laki”. Kelaziman itu juga terlihat dari surat yang ditulis oleh suaminya pada foto Soesalit yang memakai pakaian ala Eropa dengan jas, sepatu boot dan tangan kanannya memegang buku. Bupati Djojo Adhiningrat menulis “Sementara itu bayinya sehat, segar dan kuat. Saya memberinya nama kecil saya, Raden Mas Singgih”. Kalimat dalam surat suami Kartini ini jelas menempatkan Soesalit yang memang laki-laki sebagai laki-laki.
Representasi gender juga terlihat dari karya seni rupa yang dilukis oleh Kartini. Lukisan itu bergambar tiga angsa. Pemandu menjelaskan kepada penulis, entah sumbernya dari mana, bahwa tiga angsa itu melambangkan tiga bersaudara, Kartini, Kardinah dan Roekmini yang semuanya perempuan. Mempersonifikasikan angsa oleh Kartini dalam lukisan itu mungkin karena sama-sama memiliki keindahan. Akan tetapi juga memiliki interpretasi lain, bahwa perempuan itu harus seperti angsa yang berenang bebas di air yang segar dan menyegarkan.
Akan tetapi untunglah Soesalit yang pernah diberi pakaian perempuan ini setelah dewasa dengan gagahnya menggunakan pakaian tentara berpangkat Mayor Jenderal. Apakah ia tidak menjadi “Kartini” yang R.A. Kartini harapkan? Apakah dengan menjadi Mayjen RM. Soesalit Djojoadhiningrat yang berkesan jantan sangat bertolak belakang dengan Kartini? Tidak juga, Soesalit tetap melanjutkan semangat Kartini agar semuanya tetap terang. Semangat keperempuanan Kartini tumbuh dalam diri Soesalit agar semua mendapatkan hak dan keadilan yang sama.

Otentifikasi

Museum R.A. Kartini dapat dikategorikan sebagai Museum Rumah Bersejarah, tetapi juga bisa juga sebagai Museum Situs. Sebagai Museum Rumah Berejarah, karena memang bangunan besera koleksinya memiliki konteks sejarah dengan tokoh yang pernah tinggal di dalamnya. Menurut Young (2007) ada beberapa hal yang menjadikan suatu rumah menjadi bersejarah dan dapat dijadikan sebagai museum. Di antaranya orang yang pernah tinggal di suatu rumah adalah seorang pahlawan bagi negaranya. Koleksinya yang terdiri atas furnitur dan perabot yang merupakan bagian asli rumah bersejarah atau berasal dari penduduk asli yang tinggal di lokasi yang sama dengan rumah bersejarah itu. Desain rumah bersejarah itu harus memiliki keistimewaan, terutama dalam hal bentuk, dekorasi, teknik, dan estetikanya. Young melanjutkan bahwa suatu kejadian bersejarah yang penting yang terjadi dalam suatu rumah dapat menjadi alasan penting bagi pendirian museum rumah bersejarah. Kemudian ada sentimen, baik yang berhubungan dengan spiritual atau ikatan suatu komunitas, pada suatu rumah dapat menjadikannya sebagai museum rumah bersejarah. Meskipun tidak terfokus pada keantikan atau keunikan koleksinya, melainkan pada sejarahnya saja. Dari kutipan terebut jelas bahwa Museum R.A. Kartini adalah Bangunan Cagar Budaya yang otentik, karena bangunan, koleksi, dan tokohnya berkonteks sejarah yang sama, yang memiliki nilai penting bagi Bangsa Indonesia.
Museum situs purbakala hanya dapat didirikan di situs atau kawasan yang memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Museum situs purbakala harus dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ideologi, akademis, dan ekonomis. Koleksi museum situs purbakala harus berupa temuan, hasil penelitian, dan/benda-benda yang berasal dari situs tersebut, dan koleksi yang berasal dari situs lain harus berupa temuan yang memiliki hubungan dengan situs tempat didirikannya museum. [5] Museum R.A. Kartini adalah Bangunan Cagar Budaya yang in situ, sehingga situsnya pun menjadi penting. Oleh karena museum ini berada di situs, maka statusnya bisa sebagai museum situs. Lokasi, material, dan desain arsitektur Museum R.A. Kartini masih in situ, asli dan terawat, sehingga keotentikannya dapat dipertanggungjawabkan.

Kesimpulan

Museum R.A. Kartini adalah museum sejarah yang merepresentasikan semangat perempuan untuk dapat menikmati hidup dan kehidupannya. Untuk dapat sejajar sesuai dengan haknya. Perjuangannya dilakukan dengan anggun dan berwibawa melalui tulisan-tulisan yang gemulai. Siapapun tidak merasa ditantang atau dikhianati. Warisannya sangat berharga sebagaimana Kartini sangat menghargai buah hatinya sebagai ahli waris. Warisan yang ia tinggalkan bukanlah harta, tetapi karya. Ahli warisnya bukanlah Kartini lagi, tetapi Soesalit yang memiliki semangat luar biasa seperti Kartini. Keduanya menentang ketidakadilan.
Nilai penting yang terkandung pada Museum R.A. Kartini Rembang sebagai Bangunan Cagar Budaya terutama terletak pada sejarah, arsitektur, ilmu pengetahuan. Signifikansi sejarah Museum R.A. Kartini Rembang ada pada “habis gelap terbitlah terang”. Di tempat inilah R.A. Kartini mulai menarikan penanya untuk merangkai kata-kata yang sebelumnya tidak terlintas di benak para wanita pribumi Jawa di bawah kungkungan Nederlandsche Indie. Ini adalah bentuk perlawanan yang anggun namum memiliki kekuatan luar biasa. Membukakan mata, pikiran, dan wawasan pejuang saat itu, saat ini, dan mungkin juga yang akan lahir di kemudian hari. Memberikan warna pahlawan Indonesia yang tidak hanya ‘didominasi’ laki-laki.
Signifikansi pada bidang rancang bangun juga sangat luar biasa. Bangunan yang dulu dimiliki oleh Bupati Rembang itu didesain dengan menggambungkan teknologi tradisional (vernacular) Jawa dengan bentuk pendopo, tetapi menggunakan kolom-kolom bergaya Eropa. Pada bagian belakang, tembok-tembok tembal bercat putih sangat kental dengan teknologi kolonial yang diadaptasikan dengan iklim tropis. Tembok itu dibuat dengan menggunakan bahan campuran kapur dan pasir. Selain tebal dinding itu juga tinggi, dengan jendela-jendela dan pintu berukuran besar, yang membuat ruang di dalamnya menjadi segar saat siang hari, dan tidak terlalu dingin dan lembab pada malam hari.
Signifikansi ilmu pengetahuan sangat banyak. Sebarnya sejarah dan arsitekpun adalah bagian dari ilmu pengetahuan. Akan tetapi nilai penting itu ada pada Bangunan Cagar Budaya yang dapat dijadikan objek penelitian berbagai bidang ilmu. Koleksi yang tedapat di Museum R.A. Kartini Rembang juga dapat menjadi bahan kajian, seperti masalah gender yang telah dibahas, meski tidak terlalu dalam. Semua itu menjadi sangat berharga, tidak hanya bagi Rembang, tetapi bagi Bangsa Indonesia. Kartini menjadi salah satu ‘simbol’ dan penyemangat bagi perlawanan rakyat melawan Nederlandsche Indie saat itu, dan tauladan bagi rakyat Indonesia saat ini dan mendatang.
Museum R.A. Kartini telah mereprsentasikan masalah gender, meskipun dengan koleksi yang terbatas. Akan tetapi ini bukanlah hambatan. Mengomunikasikan koleksi kepada masyarakat harus lebih ditingkatkan melalu manajemen yang baik dan kreatif. Agar pemaknaan dapat dengan aktif dilakukan oleh masyarakat, pengunjung harus lebih berperan dalam museum. Pengalaman interaktif pun harus diperoleh oleh pengunjung agar mereka dapat membangunan pengetahuannya sendiri di dalam museum. Ini akan menjadikan Museum Kartini sebagai identitas, tidak hanya bagi Rembang dan Jepara, tetapi juga bangsa ini, Indonesia.
Museum R.A. Kartini memiliki signifikansi sejarah, arsitektur dan ilmu pengetahuan yang sudah selayaknya menjadi Bangunan Cagar Budaya yang otentik dan berperingkat nasional. Museum R.A. Kartini adalah Bangunan Cagar Budaya yang memiliki nilai penting bagi Bangsa Indonesia, yang sudah dirasakan bertahun-tahun lalu, dan harus tetap lestari.

Referensi

Acker, J. (1992). “Gendered institutions: From sex roles to gendered institutions:, dalam Contemporary Sociology, 21(5). 565–569.
American Psychological Association. (2007). Lesbian, gay, bisexual and trangender concerns. Retrieved December 18, 2007, from http://www.apa.org/pi/lgbc/
Deaux, K. (1984). “From individual differences to social categories: Analysis of a decade’s research on gender”, dalam American Psychologist, 39(2), 105–116.
Diamond, M. (2002). “Sex and gender are different: Sexual identity and gender identity are different”, dalam Clinical Child Psychology & Psychiatry, 7(3), 320–334.
http://disbudpar.jatimprov.go.id/museum/117-pedoman-penyelenggaraan-museum-situs.html
Lorber, J. (1995). Paradoxes of Gender. New Haven: Yale University Press.
Mertens, Donna, et. al (2008) M or F? Gender, Identity, and the Transformative Research Paradigm, dalam Museums & Social Issues, Vol. 3, No. 1, Spring 2008: Left Coast Press, Inc. Hlm. 81–92.
World Health Organization. (2007). Integrating gender analysis and actions into the work of WHO. Retrieved December 18, 2007, from http://www.who.int/gender/mainstreaming/integrating_gender/en/index.html
Young, Linda (2007) “Is There a Museum in the House? Historic Houses as a Species of Museum”, dalam Museum Management and Curatorship. Vol. 2, No. 1, Hlm. 59–77.



[1]     http://fotokita.net/cerita/129774661300_0030261/bangunan-tua-bersejarah-di-lasem
[2]     http://suaramerdeka.com
[3]     Di Maluku bahan seperti ini disebut dengan kalero.
[4]     Gender yang dibahas dalam essai ini merujuk pada definisi yang dikemukakan oleh para ahli. Di antaranya Mertens (2008) yang menguraikan mengenai gender secara lengkap. Namun Mertens juga mengutip beberapa pernyataan dari berbagai sumber, di antaranya sebagai berikut. Secara ontology bahwa seks, identitas seks, gender, dan identitas gender itu memiliki dasar sejarah, budaya, dan biologi. Selama hampir setengah abad, seks dan gender telah didefinisikan agar lebih konsisten, seperti seks untuk masalah biologi dan gender masalah psikologi (Acker 1992; Deaux 1984; Diamond, 2002; Lorber, 1995; World Health Organization, 2007). Asosiasi Psikologi Amerika menyatakan (2007) bahwa gender adalah fenomena psikologis yang menghubungkan seks dalam relasinya dengan sikap dan tingkah laku. Jadi gender dalam essai ini tidak membandingkan konteks perempuan dan laki-laki yang berelasi dengan seks, tetapi lebih ke psikologi dan tingkah laku.

[5]     http://disbudpar.jatimprov.go.id/museum/117-pedoman-penyelenggaraan-museum-situs.html

Rabu, 29 Juli 2009

Solo Touring

Menjelang ulang tahun kelima si Blackironhorse dibawa jalan ke Bandung. Berangkat lewat jalur Jonggol, dan pulangnya lewat jalur Purwakarta. Perjalanan dimulai Sabtu, 25 Juli 2009 jam 09.30 WIB. Jalur yang dilewati adalah Jalan Raya Condet. Di jalan raya Conder berhenti di SPBU dekat kantor pos Condet. Kemudian lewat Jalan Raya TB. Simatupang. Sampai perempatan Pasar Rebo belok ke arah Jalan Raya Bogor, kemudian belok ke arah Cibubur, lupa nama jalannya. Secara umum jalur sampai Cibubur agak padat, maklum hari itu adalah Sabtu. Banyak orang yang pergi berlibur, terutama ke arah selatan (Bogor dan sekitarnya).

Sebenarnya perjalanan ini tidak direncanakan. Malam Sabtu, saya sempat bilang ke istri bahwa ada keinginan untuk pergi ke Bandung dengan mengendarai motor. Saat itu sempat tidak diizinkan. “Boleh, tapi pake bis”. Wah, kalau pake bis mah sama aja atuh. Kan tujuannya adalah silaturrahmi sekalian rekreasi dengan menikmati jalan dan pemandangan yang dilewati.

Sabtu pagi, tiba-tiba keinginan itu muncul lagi. Sekali lagi bilang ke istri, boleh ga pergi ke Bandung pake motor. Setelah hampir dua jam, akhirnya istri mengizinkan, “tapi harus hati-hati dan jangan ngebut” katanya. Sip. Akhirnya motor, perlengkapan dan pakaian ganti disiapkan. Tapi tunggu, ternyata isrti tersayang juga sibuk menyiapkan oleh-oleh untuk dibawa ke Bandung. Mmm… kue pukis, kue Lumpur, dan bolu kukus. Sip. Setelah mandi, semua di pack di atas motor. Makanan dan oleh-oleh special untuk Ibunda tersayang dimasukkan ke dalam box; jas hujan, toolkit, dan air minum masuk side bag; baju air minum yang lain masuk ke dalam tas yang ditaruh di atas jok motor.

Ternyata banyak juga bawaannya. Sebelum berangkat, sebenarnya agak ragu, karena kondisi motor yang kurang fit, ditambah kondisi badan juga agak kurang fit. Kepala agak sedikit pusing. Tapi karena sudah lama tidak mengendarai motor jarak jauh sejak kecelakaan pada Agustus 2007, keinginan untuk solo touring itu sangat kuat. Sekitar tiga hari sebelum berangkat, motor sering seperti over heat atau keabisan bensin, ndut-ndutan gitu, terutama setelah motor berlari lebih kurang 80 km/jam dengan jarak sekitar 5 atau 6 km. Aneh… padahal baru diservis dan ganti oli. O. ya, waktu ganti oli, mekaniknya lupa masang tutup oli yang dibawah, jadi waktu oli dituang, olinya keluar lagi. Lucu juga, baru kali pertama kejadian seperti ini. Lalu oli yang terbuang coba ditampung pake wadah bekas oli lain. Kemudian, karena oli yang baru ada yang terbuang, maka ditambahkan oli lagi. Nah ada kecurigaan, waktu ditambah oli, mungkin olinya kebanyakan (lebih dari 1 liter). Karena, kalo ga salah, kalo olinya kebanyakan, mesin jadi cepat panas.Benar saja, ketika hampir mendekati daerah Jonggol, motor jadi ndut-ndutan lagi. Akhirnya berhenti, tentunya di tempat yang aman dan pemandangan yang cukup indah. Tidak lupa ambil foto. Setelah lebih kurang lima menit, jalan lagi, dan alhamdulillah lancar. Tapi…. Setelah berjalan lebih kurang 15 menit “kebiasaan baru” itu terulang lagi. Akhirnya berhenti lagi. Kali ini berhenti di dekat warung. Kecurigaan beralih ke adanya kandungan air di dalam tanki, karena si blackironhorse ini sejak dibeli pada Oktober 2004 belum pernah dikuras. Selain itu, perjalanan selama 15 menit dengan tidak terlalu cepat seharusnya tidak membuat mesin cepat panas. O ya… posisi kran bensin selalu dalam keadaan res. Dugaan saat itu ada air yang masuk ke dalam karburator, dan menyebabkan pembakaran tidak sempurna.


Setelah berhenti, buka sarung tangan, buka helm, buka masker, buka jaket, dan terakhir buka pelindung siku. Kaos mulai basah dengan keringat. Mulailah membuka fairing sebelah kiri. Coba atur selang bensin, Karena ada dugaan juga selang bensin yang agak menekuk membuat aliran bensin tidak lancar. Setelah itu, kran bensin diputar ke posisi on. Dengan harapan besin yang mengalir ke karburator adalah bukan dari dasar tanki yang diduga mengandung air. Setelah selesai, tutup kembali fairing. Tidak lupa pekerjaan ini diakhiri dengan minum air yang memang kondisi saat cukup panas.

Mulailah pake pelindung siku, pakai jaket, pake masker, pakai helm, dan terakhir sarung tangan. Lima menit berlalu, 10 menit, 20 menit, eh…. “kebiasaan baru” itu tidak terulang. Wah benar nih, kalau begitu, ada air di dalam tanki. Karena sejak posisi kran bensin di on motor tidak ada masalah. Sip, tetapi tunggu, teratasinya masalah ini bukan berarti perjalanan tidak mendapat hambatan. Jalan jonggol ternyata banyak ruas yang rusak parah.

Pemandangannya sangat indah dengan hamparan sawah, mm..........

P

Dalam perjalanan Jonggol ke Cianjur berhenti beberapa kali, tidak lupa si blackrironhorse difoto dulu. Sampai di Ciranjang gerimis mulai turun. Tapi karena tidak kunjung hujan, diputuskan tidak usah berhenti dan tidak usah pakai jas hujan. Jalan terus. Tetapi ini malah menjadi keasikan tersendiri. Pernalanan jadi tidak mototon dan tidak membt ngantuk. Karena pada jalan rusak jadi terasa off road.

Menjelang Padalarang badan mulai terasa lelah. Jika sebelumnya berhenti karena ada masalah atau hanya sekadar menikmati pemandangan. Nah berhenti di tempat ini benar-benar karena sudah lelah. Berhenti di tempat ini cuma buka sarung tangan, helm dan masker. Lalu ambl air minum. Minum sepuasnya agar hausnya hilang. O ya, kan istri berpesan, “kalo lapar, kua lumpurnya makan aja”, ya udah, buka tas, lalu ambil satu kue, dan makan. Mmmm.

Setelah lebih kurang 15 menit. Mulai siap-siap meneruskan perjalanan, pake masker, helm lalu sarung tangan. Yes, badan sudah fit, sakit kepala yang dirasakan tadi pagi telah hilang. Di sepanjang perjalanan terus-menerus membaca Subhanallah, karena perjalanan ini sungguh membuat hati riang. Maklum sudah dua tahun tidak pernah jalan jauh lagi.

Masuk padalarang, jalur mulai padat, dan banyak sekali truk, sehingga perjalalan mulai melambat. Tapi sabar, ingat kata istri “hati-hati dan jangan ngebut”, Berbeda dengan perjalalan sekitar 2004, 2005 dan 2006, terutama sebelum menikah. Inginnya ngebut terus. Kalo ada truk atau bis yang menghalangi, tancap gas, lalu susul. Dulu sepertinya ga ada rasa takut. Tapi sekarang… ngga ah…… takut…….

Situ Ciburuy yang "laukna hese dipancing"

Sampai di Ciburuy berhenti sebentar, minum lalu ambil foto. Masuk Cimareme, hati semakin senang, wah akhirnya sampai juga. Eh… ternyata kok lama juga sampai rumah kakak di Bandung yang menjadi tujaun perjalalan kali ini. Mungkin karena sudah mulai cape, jadi jarak lebih kurang 20 km terasa jauh sekali. Setelah melewati Kota Cimahi, jam digital yang ada dekat speedometer mati. Akhirnya berhenti lagi untuk sekadar mengecek. Oh, ternyata baterainya goyang setelah motor melewati lubang. Setelah dibetulkan, jalan lagi. Wah, akhirnya sampai di Jalan Soekarno-Hatta. Sampai teriaku……… padahal perjalanan harus melewati Caringin, perempatan Kopo, Perempatan Cibaduyut-Leuwipanjang, dan Perempatan Cigereleng. Nah rumah kakak ada di jalan Mengger Girang, sekitar 200 m dari perempatan Cigereleng.

Sampai di rumah jam 15.30. orangtua tercinta sudah menunggu di teras rumah. Mereka baru lima hari di Bandung, setelah hari senin, 20 Juli 2009 dijemput kakak saya dari Lampung. Wah… lega sekali, kerinduan terobati, hati ini juga puas. Rasa lelah serasa hilang begitu saja.

Tapi sayang, hari senin, 27 Juli 2009 harus kembali bekerja. Jadi kesokan harinya sudah harus bergegas pulang ke Jakarta. Tetapi belum diputuskan jalur mana yang akan dilewati. Yang jelas tidak akan menggunakan jalur Jonggol lagi. Harus jalur lain. Pilihannya, jalur Sukabumi, Subang-Purwakarta, atau Padalarang-Purwakarta.

Malamnya, saya coba cerita pada kakak saya mengenai keadaan motor saya. Akhirnya direncanakan besok pagi tanki motor akan dikuras. Setelah pagi menjelang, mulailah si blackironhorse dioperasi. Buka fairing kiri kanan, bukan tutup aki, buka tutup filter, buka jok, cabut selang bensin, dan cabut kabel indikator bensin. Setelah tanki terlepas, coba diguncang-guncangkan sebentar, dengan harapan kotoran di dasar tangki akan terangkat. Setelah itu, besin dikeluarkan dan dimakukkan ke dalam jerigen. Tapi sebelumnya dimasukan ke dalam botol aqua dulu. Tapi aneh, warna bensin tetap biru dan tetap jernih. Tidak tampak ada kotoran dan air di dalamnya. Kemudian tangki dikocok-kocok lagi, dan bensin dikeluarkan. Hasilnya tetap sama. Aneh… padahal menurut teman-teman di milis HMPC tangki megapro jika sudah lama tidak dikuras akan sangat kotor, bahkan bensin di dalamnya menjadi seperti lumpur.

Lihat tuh, bensinnya masih berwarna biru jernih, padahal sudah dikocok-kocok, bahkan bensin yang ada dalam baskom sudah dijadikan "cairan pencuci". Kotorannya mengendam di pangkal fileter yang berbentuk batang.

Kemudian buka kran bensin, dan ternyata pada filter yang berbentuk batang berwarna kuning tua sepanjang sekitar 15 cm terdapat endapat kotoran. Tapi kotoran ini seperti pasir dan bubuk besi. Jadi jika bercampur bensin, tidak membuat bensin keruh, karena butirannya cukup besar. Setelah kotoran ini dibuang, filter dipasang kembali, dan kran dipasang pada tanki.

Nah sebelum tanki dipasang, bensin yang berada dalam jerigen dimasukan kembali ke dalam tanki. Sementara bensin yang berada di dalam baskom digunakan untuk membersihkan bagian-bagian motor dan bagian dasar tanki yang kotor. Sambil menyelam minum air gitu.

Setelah semuanya dipasang,lalu coba dihidupkan. Dan ternyata lancer …….. alhamdulillah …….. setelah itu siap-siap, packing barang-barang. Berharap perjalanan pulang kali ini lebih ringan. Tapi…… ternyata oleh-oleh yang dibawa ke Jakarta tidak kalah banyak saat berangkat. Wah.. ini menjadi perjalanan yang cukup seru. Sebelum berangkat, saat sarapan, saat pake baju, saat pake sepatu, masih menimbang-nimbang untuk memilih jalur yang akan diambil. Karena belum juga ada keputusan, ya sudah berangkat saja, keputusan nanti saja sambil jalan.

Setelah pamit pada orangtua dan semua keluarga yang saya cintai. Mulailah mengenakan perlengkapan seperti biasa. Karena bensin di dalam tanki berkurang, begitu sampai perempatan Cigereleng belok ke arah selatan, isi bensin dulu di SPBU dekat jalan tol Padaleunyi. Setelah itu perjalanan dimulai. Setelah hampir sampai di Cimareme, baru ada keputusan untuk mengambil jalur Padalarang (Tagogapu) ke arah Purwakarta.

Setelah melewati kepadatan Cimareme, kemudian belok ke kanan ke arah Tagog Apu. Aduh di sini macet sekali. Tetapi setelah itu….. mmmmmm… jalur kosong, jalanan aspal cukup bagus. Aduh senanngnya. Baru beberapa menit berjalan, karena pemandangan cukup indah, akhirnya diputuskan untuk berhenti. Tidak lupa mengambil kamera untuk mengabadikan momen ini. Setelah itu…… wah….. jalannya luar bisa, berliku dan bagus. Kendaraan tidak begitu banyak. Ini adalah perjalanan yang sangat memuaskan….. alhamdulillah…. Setelah sekian lama…..

Setelah sekian lama menelusuri jalan berliku, akhirnya sampai di Kota Purwakarta. Kota yang relatif tenang daripada Bandung, apalagi Jakarta. Tidak jauh sebelum belok ke arah Cikampek, sempat berhenti dulu untuk istirahat. Kemudian berjalan-jalan sebentar di pusat kota. Sayang momen ini tidak sempat diabadikan, karena langsung menelusuri jalanan menuju arah Cikampek. Jalur kali ini sungguh berbeda dengan jalur sebelumnya. Jalur ke Cikampek melalui Sadang relatif lurus, tetapi masih nyaman, karena kondisi jalan yang baik.

Singkat cerita sampailah di jalur menuju Karawang. Oleh karena, tidak banyak yang bisa diceritakan di jalur ini. Sampai di Kota Karawang sempat berhenti sebentar, dan kali ini sempat ambil gambar dengan kamera kecilku dari kado pernikahan ku pada 2006 lalu. Ah, kamera jadul, tapi tidak apa. Setelah rasa lelah mulai hilang, perjalanan pun dilanjutkan menuju Bekasi. Nah, di jalur inilah rasa lelah begitu terasa, karena kondisi jalan yang kurang baik. Hampir sepanjang jalan banyak aspal yang ditambal, sehingga permukaannya tidak rata.

Tapi ada hikmanya. Selain laju motor tidak bisa kencang, juga banyak “bertemu” biker yang menuju Jakarta. Itu terlihat dari plat motor mereka. Hampir semua biker yang bertemu di jalan selalu membawa boncenger, minimal seorang. Tapi juga yang bertiga dengan anak mereka, bahkan bayi mereka. Ketika beristirahat di Kota Bekasi, ada juga biker yang sepertinya melakukan perjalanan jauh. Mereka berempat (bersama dua anak mereka). Luar biasa, saya yang hanya membawa beban “tidak bergerak” aja, harus berhenti untuk beristirahat beberapa kali.

O ya, waktu kecelakaan pada Agustus 2007, ibu jari kanan luka dalam cukup parah. Rasa sakit jika ditekuk ke dalam baru hilang dalam waktu hampir satu tahun. Nah waktu melalukan perjalanan kali ini, tangan kanan serasa terlalu cepat lelah menggenggam. Waktu berhenti di Kerawang, coba ibu jari tangan kanan diraba, terutama pada bagian yang pernah sakit. Dan ternyata, agak sakit, dan bunyi krek-krek di ruas kedua kambuh lagi. Oh… ternyata ini adalah luka dalam yang cukup parah.

Karena selelah melalui jalur Karawang-Bekasi yang membosankan, akhirnya sampai juga di Jakarta, hampir pukul 16.00. Rasa lelah serasa hilang, saat memasuki pagar rumah, istri dan putriku tercinta menyambutku dengan rasa kangen.

Inilah sedikit kisah perjalanan kali ini, walaupun Cuma 375 km, tetapi sangat memuaskan. Nanti, jika ada waktu, dan tentunya jika direstui istri, tentu akan ada kisah perjalanan yang lainnya.

Blackironhorse

Blackironhorse, begitu saya menamai motor megapro yang saya miliki sejak Oktober 2004.

Senin, 15 Juni 2009

HEBATNYA PEREMPUAN NUSANTARA: Martha Christina Tiahahu

Martha Christina Tiahahu dilahirkan di Abubu Nusalaut pada 4 Januari 1800 merupakan anak sulung dari Kapitan Paulus Tiahahu dan masih berusia 17 tahun ketika mengikuti jejak ayahnya memimpin perlawanan di Pulau Nusalaut. Pada waktu yang sama Kapitan Pattimura sedang mengangkat senjata melawan kekuasaan Belanda di Saparua. Perlawanan di Saparua menjalar ke Nusalaut dan daerah sekitarnya.

Pada waktu itu sebagian pasukan rakyat bersama para Raja dan Patih bergerak ke Saparua untuk membantu perjuangan Kapitan Pattimura sehingga tindakan Belanda yang akan mengambil alih Benteng Beverwijk luput dari perhatian. Guru Soselissa yang memihak Belanda melakukan kontak dengan musuh mengatasnamakan rakyat menyatakan menyerah kepada Belanda. Pada 10 Oktober 1817 Benteng Beverwijk jatuh ke tangan Belanda tanpa perlawanan.

Sementara di Saparua pertempuran demi pertempuran terus berkobar. Oleh karena semakin berkurangnya persediaan peluru dan mesiu pasukan rakyat mundur ke pegunungan Ulath-Ouw. Di antara pasukan itu terdapat pula Martha Christina Tiahahu beserta para Raja dan Patih dari Nusalaut.

Pada 11 Oktober 1817 pasukan Belanda di bawah pimpinan Richemont bergerak ke Ulath, namun berhasil dipukul mundur oleh pasukan rakyat. Dengan kekuatan 100 orang prajurit, Meyer beserta Richemont kembali ke Ulath. Pertempuran berkobar kembali, korban berjatuhan di kedua belah pihak. Dalam pertempuran ini Richemont tertembak mati. Meyer dan pasukannya bertahan di tanjakan Negeri Ouw. Dari segala penjuru pasukan rakyat mengepung, sorak sorai pasukan bercakalele, teriakan yang menggigilkan memecah udara dan membuat bulu roma berdiri.

Di tengah keganasan pertempuran itu muncul seorang gadis remaja bercakalele menantang peluru musuh. Dia adalah putri Nusahalawano, Martha Christina Tiahahu, srikandi berambut panjang terurai ke belakang dengan sehelai kain berang (kain merah) terikat di kepala. Dengan mendampingi sang Ayah dan memberikan kobaran semangat kepada pasukan Nusalaut untuk menghancurkan musuh, jujaro itu telah memberi semangat kepada kaum perempuan dari Ulath dan Ouw untuk turut mendampingi kamu laki-laki di medan pertempuran. Baru di medan ini Belanda berhadapan dengan kaum perempuan fanatik yang turut bertempur. Pertempuran semakin sengit katika sebuah peluru pasukan rakyat mengenai leher Meyer, Vermeulen Kringer mengambil alih komando setelah Meyer diangkat ke atas kapal Eversten.

Pada 12 Oktober 1817 Vermeulen Kringer memerintahkan serangan umum terhadap pasukan rakyat, ketika pasukan rakyat membalas serangan yang begitu hebat ini dengan lemparan batu, para Opsir Belanda menyadari bahwa persediaan peluru pasukan rakyat telah habis. Vermeulen Kringer memberi komando untuk keluar dari kubu-kubu dan kembali melancarkan serangan dengan sangkur terhunus. Pasukan rakyat mundur dan bertahan di hutan, seluruh negeri Ulath dan Ouw diratakan dengan tanah, semua yang ada dibakar dan dirampok habis-habisan.

Martha Christina dan sang Ayah serta beberapa tokoh pejuang lainnya tertangkap dan dibawa ke dalam kapal Eversten. Di dalam kapal ini para tawanan dari Jasirah Tenggara bertemu dengan Kapitan Pattimura dan tawanan lainnya. Mereka diinterogasi oleh Buyskes dan dijatuhi hukuman. Karena masih sangat muda, Buyskes membebaskan Martaha Christina Tiahahu dari hukuman, namun sang Ayah, Kapitan Paulus Tiahahu tetap dijatuhi hukuman mati.

Mendengar keputusan tersebut, Martha Christina Tiahahu memandang sekitar pasukan Belanda dengan tatapan sayu namun kuat yang menandakan keharuan mendalam terhadap sang Ayah. Tiba-tiba Martha Christina Tiahahu merebahkan diri di depan Buyskes memohonkan ampun bagi sang ayah yang sudah tua, namun semua itu sia-sia. Pada 16 Oktober 1817 Martha Christina Tiahahu beserta sang Ayah dibawa ke Nusalaut dan ditahan di benteng Beverwijk sambil menunggu pelaksanaan eksekusi mati bagi ayahnya.

Martha Christina Tiahahu mendampingi sang Ayah pada waktu memasuki tempat eksekusi, kemudian Martha Christina Tiahahu dibawa kembali ke dalam benteng Beverwijk dan tinggal bersama guru Soselissa. Sepeninggal ayahnya Martha Christina Tiahahu masuk ke dalam hutan dan berkeliaran seperti orang kehilangan akal. Hal ini membuat kesehatannya terganggu.

Dalam suatu Operasi Pembersihan pada Desember 1817 Martha Christina Tiahahu beserta 39 orang lainnya tertangkap dan dibawa dengan kapal Eversten ke Pulau Jawa untuk dipekerjakan secara paksa di perkebunan kopi. Selama di atas kapal ini kondisi kesehatan Martha Christina Tiahahu semakin memburuk, ia menolak makan dan pengobatan. Akhirnya pada tanggal 2 Januari 1818, selepas Tanjung Alang, Martha Christina Tiahahu menghembuskan nafas yang terakhir. Jenazah Martha Christina Tiahahu disemayamkan dengan penghormatan militer ke Laut Banda.

Tulisan ini diambil dari http://tidorekota.go.id

HEBATNYA WANITA NUSANTARA: Laksamana Keumala Hayati (Malahayati)

Laksamana Keumala Hayati atau Malahayati adalah wanita pejuang Aceh yang terkenal dalam kemiliteran pada masa Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pimpinan pemerintahan Sultan Alaiddin Ali Riayat Syah IV Saidil Mukammil (1589–1604 M). Malahayati diberikan kepercayaan oleh sultan sebagai kepala pengawal dan protokol di dalam dan di luar istana. Saat masih kanak-kanak ibunya telah meninggal dunia, dan selanjutnya diasuh oleh ayahnya yang bernama Laksamana Mahmudsyah (Tim, 1998:19). Malahayati kecil sering diajak ayahnya pergi dengan kapal perang. Pengenalannya dengan kehidupan laut itu kelak membentuk sifatnya yang gagah berani dalam mengarungi laut luas.

Selain berkedudukan sebagai Kepala Pengawal Istana, Malahayati juga seorang ahli politik yang mengatur diplomasi penting kerajaan. Dalam suatu peristiwa pada 21 Juni 1599, kerajaan kedatangan dua kapal Belanda, Deleeuw dan Deleeuwin di bawah pimpinan dua kapten kapal bersaudara, yaitu Cornelis dan Frederik de Houtman (Tim P3SKA, 1998:19). Maksud kedatangan mereka adalah melakukan perjanjian dagang dan memberikan bantuan dengan meminjamkan dua kapal tersebut guna membawa pasukan Aceh untuk menaklukan Johor pada 11 September 1599.

Peminjaman kapal tersebut ternyata merupakan bentuk tipu muslihat Belanda, karena ketika para prajurit kerajaan menaiki kapal, kedua kapten kapal tersebut melarangnya, sehingga terjadilah bentrokan yang tak terhindarkan. Dalam peristiwa itu banyak dari pihak Belanda tewas, kedua kaptennya ditangkap oleh pasukan Aceh yang dipimpin oleh Malahayati. Oleh karena kecakapannya itulah kemudian sultan mengangkatnya menjadi Laksamana.

Pada zaman Sultan Alaiddin Ali Riayat Syah IV Saidil Mukammil yang memerintah tahun 997–1011 H (1589–1604), dibentuk satu armada yang sebagian prajurit-prajuritnya terdiri atas para janda yang ditinggalkan suaminya karena gugur dalam perang, yang disebut Armada Inong Balee. Pembentukan armada ini atas izin sultan dan inisiatif Laksamana Malahayati. Armada ini dipimpin oleh Laksamana Malahayati, yang juga merupakan seorang janda yang ditinggal mati suaminya dalam suatu pertempuran laut. Markas pasukan ini berada di Lam Kuta, Krueng Raya Kabupaten Aceh Besar (Tim P3SKA, 1998:14). Salah satu jejak perjuangan yang masih tersisa hingga kini adalah kompleks makam Malahayati yang berada di puncak bukit dan satu benteng yang disebut Benteng Inong Balee di tepi pantai Selat Malaka, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Armada Inong Balee berulangkali terlibat dalam pertempuran di Selat Malaka, daerah pantai timur Sumatera, dan Malaya. Seorang wanita penulis asal Belanda, Marie van Zuchyelen dalam bukunya “Vrouwolijke Admiral Malahayati” memuji Laksamana Malahayati dengan armada Inong Baleenya itu, terdiri dari 2000 prajurit wanita yang gagah dan tangkas (Hasjmy, 1975:95). Laksamana Malahayati melatih para janda menjadi prajurit kesultanan yang tangguh di dalam sebuah benteng, yaitu Benteng Inong Balee. Laksamana Malahayati juga diberi wewenang oleh Sultan Alaiddin Ali Riayat Syah IV Saidil Mukammil untuk menerima dan menghadap utusan Ratu Inggris Ratu Elizabeth I, Sir James Lancaster yang datang ke Aceh dengan tiga kapal yaitu Dragon, Hector dan Ascentic pada tanggal 6 Juni 1602 dengan membawa sepucuk surat dari Ratu Inggris (Mann, 2004:23).

Pada masa pemerintahan Sultan Muda Ali Riayat Syah V Mukammil yang memerintah dalam tahun 1011–1015 H (1604–1607) keberadaan prajurit wanita itu masih tetap dipertahankan, yaitu dengan dibentuknya Sukey Kaway Istana (Kesatuan Pengawal Istana). Kesatuan Pengawal Istana itu terdiri dari Si Pa-i Inong (prajurit wanita) di bawah pimpinan dua pahlawan wanita: Laksamana Meurah Ganti dan Laksamana Muda Cut Meurah Inseun (Hasjmy, 1975:95).

Kedua pimpinan Kesatuan Pengawal Istana itulah yang telah berjasa membebaskan Iskandar Muda dari penjara tahanan Sultan Muda Ali Riayat Syah V Mukammil (Jamil, 1959:114). Setelah pemerintahan Sultan Muda Ali Riayat Syah V Mukammil berakhir, dilanjutkan oleh Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Perkasa Alam Syah yang memerintah pada tahun 1016–1045 H (1607–1636 M). Pada masa itu Kerajaan Aceh Darussalam berkembang pesat dan mengalami masa keemasannya. Perhatian sultan kepada para prajurit wanita cukup besar. Sultan memperbesar dan mempermodern Angkatan Perang Aceh, di antaranya membentuk suatu kesatuan pengawal istana yang terdiri atas prajurit wanita di bawah pimpinan seorang jenderal wanita, Jenderal Keumala Cahaya. Kesatuan wanita tersebut sebagian merupakan Kesatuan Kawal Kehormatan yang terdiri atas prajurit wanita cantik. Kesatuan ini bertugas menyambut tamu-tamu agung atau para pembesar, baik dari kalangan pembesar kerajaan di Nusantara maupun dari luar/asing, dengan barisan kehormatannya.

Benteng Inong Balee

Benteng Inong Balee berada di Desa Lamreh, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar. Benteng ini disebut Benteng Inong Balee yang pebangunannya dipimpin Laksamana Malahayati, pada masa Sultan Alaiddin Ali Riayat Syah IV Saidil Mukammil. Pencapaian menuju Benteng Inong Balee melalui jalan raya beraspal arah Banda Aceh–Mesjid Raya berbelok ke arah kiri berlanjut melalui jalan tanah. Kemudian sekitar 1 km melintasi jalan tanah tersebut maka akan dijumpai benteng yang berada di tepi jurang, dan di bawahnya terdapat pantai yang dihiasi karang-karang terjal. Benteng berdenah persegi panjang menghadap ke barat yaitu arah laut/Selat Malaka.

Batas tembok di sisi utara berupa tanah landai yang penuh dengan semak belukar, sisi timur juga semak belukar, sisi selatan areal perladangan, dan sisi barat sekitar 10 m adalah jurang. Konstruksi tembok benteng yang masih tersisa kini di bagian barat berupa tembok yang membujur utara-selatan, dan di bagian utara dan selatan membujur timur-barat. Kemudian di bagian timur terdapat struktur pondasi berukuran panjang sekitar 20 m. Bahan bangunan penyusun tembok benteng terbuat dari batuan alam berspesi kapur. Tembok benteng di bagian barat memiliki ukuran panjang 60 m, tebal 2 m, dan tinggi 2,5 m, tembok benteng di bagian utara berukuran panjang 40 m, tebal 2 m, dan tinggi bagian dalam 1 m. Sedangkan tembok di bagian selatan berukuran panjang 60 m, tebal 2 m, dan tinggi bagian dalam 1 m. Pada tembok yang membujur utara-selatan di bagian barat terdapat 4 lubang pengintaian menyerupai bentuk tapal kuda. Tinggi lubang pengintaian bagian dalam sekitar 90 cm, lebar 160 cm, sedangkan tinggi lubang bagian luar sekitar 85 cm dan lebar 100 cm. Posisinya yang mengarah ke Selat Malaka jelas berfungsi untuk mengawasi terhadap lalu-lalang kapal laut. Benteng Inong Balee sering disebut juga Benteng Malahayati. Benteng ini merupakan benteng pertahanan sekaligus sebagai asrama penampungan janda-janda yang suaminya gugur dalam pertempuran. Selain itu juga digunakan sebagai sarana pelatihan militer dan penempatan logistik keperluan perang.

Kompleks Makam Laksamana Malahayati

Sekitar 3 km dari Benteng Inong Balee terdapat kompleks makam Laksamana Malahayati, yang berada di puncak bukit kecil. Di sekeliling areal makam ini adalah perladangan penduduk. Untuk mencapai kompleks makam tersebut dapat ditempuh dengan cara menaiki susunan anak tangga yang terbuat dari semen. Areal makam dibatasi pagar tembok dengan pintu di sisi timur. Ada tiga makam yang berada dalam satu jirat dan dinaungi satu cungkup. Jirat berbentuk persegi panjang terbuat dari semen yang dilapisi keramik putih. Ukuran tinggi jirat dari permukaan tanah sekitarnya adalah 30 cm.

Makam pertama berada di sisi barat dilengkapi sepasang nisan tipe pipih bersayap. Bagian kaki berbentuk balok, antara kaki dan badan terdapat pelipit. Bagian bawah badan berhiaskan kuncup bunga teratai. Terdapat 3 panel kaligrafi berbingkai di tengah badan nisan, hiasan sulur-suluran di bagian sayap nisan. Puncak nisan berbentuk atap limasan. Makam kedua berada di antara Makam pertama dan Makam ketiga, tipe nisan pipih tanpa sayap. Kaki nisan berbentuk balok, antara kaki dan badan terdapat pelipit. Pada bagian bawah nisan berukirkan kuncup bunga teratai. Pada bagian tengah badan terdapat 3 panel kaligrafi berbingkai dan motif garis-garis. Bahu kiri dan kanan nisan meruncing ke atas. Di atas bahu nisan terdapat dua susun mahkota teratai yang diakhiri bagian puncak berbentuk atap limasan. Makam ketiga terletak di sisis timur dari makam kedua. Ukuran nisan lebih kecil dari makam pertama dan makam kedua. Bentuk nisan pipih tanpa sayap. Nisan yang berada di bagian utara dan selatan telah patah. Selain nisan aslinya yang telah patah, nisan di bagian utara juga ditandai dengan batuan alam.

Tulisan ini diambil dari Sutrisna, Deni, 2008, Benteng Inong Balee Dan Kompleks Makam Laksamana Malahayati Di Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, http://balarmedan.wordpress.com.

Foto di atas adalah penulis yang sedang melakukan survei di Benteng Inong Balee.

Kepustakaan

Ambary, Hasan Muarif, 1996. Makam-makam Islam di Aceh dalam Aspek-aspek Arkeologi Indonesia No. 19. Jakarta: Puslit Arkenas, Depdikbud

——————–,1998. Menemukan Peradaban, Arkeologi dan Islam di Indonesia. Jakarta: Puslit Arkenas

Hasjmy, A, 1975. Iskandar Muda Meukuta Alam. Jakarta: Bulan Bintang

——————–, 1976. 59 Tahun Aceh Merdeka dibawah Pemerintahan Ratu. Jakarta: Bulan Bintang

Jamil, M Yunus, 1959. Gajah Putih. Banda Aceh: Lembaga Kebudayaan Aceh

Mann, Richard, 2004. 400 Years And More of The British In Indonesia. London: Gateway Books International

Perret, Daniel dan Kamarudin AB. Razak, 1999. Batu Aceh Warisan Sejarah Johor. Selangor: Yayasan Warisan Johor dan EFEO

Pramono, Djoko, 2005. Budaya Bahari. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Soekmono, R, 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Jakarta: Kanisius

Tim, 1978. Adat Istiadat Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah

Tim P3SKA, 1998. Buku Objek Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Aceh. Banda Aceh: Perkumpulan Pecinta Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Aceh (P3SKA).

Tim Penyusun, 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka, Depdikbud