Laksamana Keumala Hayati atau Malahayati adalah wanita pejuang Aceh yang terkenal dalam kemiliteran pada masa Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pimpinan pemerintahan Sultan Alaiddin Ali Riayat Syah IV Saidil Mukammil (1589–1604 M). Malahayati diberikan kepercayaan oleh sultan sebagai kepala pengawal dan protokol di dalam dan di luar istana. Saat masih kanak-kanak ibunya telah meninggal dunia, dan selanjutnya diasuh oleh ayahnya yang bernama Laksamana Mahmudsyah (Tim, 1998:19). Malahayati kecil sering diajak ayahnya pergi dengan kapal perang. Pengenalannya dengan kehidupan laut itu kelak membentuk sifatnya yang gagah berani dalam mengarungi laut luas.
Peminjaman kapal tersebut ternyata merupakan bentuk tipu muslihat Belanda, karena ketika para prajurit kerajaan menaiki kapal, kedua kapten kapal tersebut melarangnya, sehingga terjadilah bentrokan yang tak terhindarkan. Dalam peristiwa itu banyak dari pihak Belanda tewas, kedua kaptennya ditangkap oleh pasukan Aceh yang dipimpin oleh Malahayati. Oleh karena kecakapannya itulah kemudian sultan mengangkatnya menjadi Laksamana.
Pada zaman Sultan Alaiddin Ali Riayat Syah IV Saidil Mukammil yang memerintah tahun 997–1011 H (1589–1604), dibentuk satu armada yang sebagian prajurit-prajuritnya terdiri atas para janda yang ditinggalkan suaminya karena gugur dalam perang, yang disebut Armada Inong Balee. Pembentukan armada ini atas izin sultan dan inisiatif Laksamana Malahayati. Armada ini dipimpin oleh Laksamana Malahayati, yang juga merupakan seorang janda yang ditinggal mati suaminya dalam suatu pertempuran laut. Markas pasukan ini berada di Lam Kuta, Krueng Raya Kabupaten Aceh Besar (Tim P3SKA, 1998:14). Salah satu jejak perjuangan yang masih tersisa hingga kini adalah kompleks makam Malahayati yang berada di puncak bukit dan satu benteng yang disebut Benteng Inong Balee di tepi pantai Selat Malaka, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Armada Inong Balee berulangkali terlibat dalam pertempuran di Selat Malaka, daerah pantai timur Sumatera, dan
Pada masa pemerintahan Sultan Muda Ali Riayat Syah V Mukammil yang memerintah dalam tahun 1011–1015 H (1604–1607) keberadaan prajurit wanita itu masih tetap dipertahankan, yaitu dengan dibentuknya Sukey Kaway Istana (Kesatuan Pengawal Istana). Kesatuan Pengawal Istana itu terdiri dari Si Pa-i Inong (prajurit wanita) di bawah pimpinan dua pahlawan wanita: Laksamana Meurah Ganti dan Laksamana Muda Cut Meurah Inseun (Hasjmy, 1975:95).
Kedua pimpinan Kesatuan Pengawal Istana itulah yang telah berjasa membebaskan Iskandar Muda dari penjara tahanan Sultan Muda Ali Riayat Syah V Mukammil (Jamil, 1959:114). Setelah pemerintahan Sultan Muda Ali Riayat Syah V Mukammil berakhir, dilanjutkan oleh Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Perkasa Alam Syah yang memerintah pada tahun 1016–1045 H (1607–1636 M). Pada masa itu Kerajaan Aceh Darussalam berkembang pesat dan mengalami masa keemasannya. Perhatian sultan kepada para prajurit wanita cukup besar. Sultan memperbesar dan mempermodern Angkatan Perang Aceh, di antaranya membentuk suatu kesatuan pengawal istana yang terdiri atas prajurit wanita di bawah pimpinan seorang jenderal wanita, Jenderal Keumala Cahaya. Kesatuan wanita tersebut sebagian merupakan Kesatuan Kawal Kehormatan yang terdiri atas prajurit wanita cantik. Kesatuan ini bertugas menyambut tamu-tamu agung atau para pembesar, baik dari kalangan pembesar kerajaan di Nusantara maupun dari luar/asing, dengan barisan kehormatannya.
Benteng Inong Balee
Benteng Inong Balee berada di Desa Lamreh, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar. Benteng ini disebut Benteng Inong Balee yang pebangunannya dipimpin Laksamana Malahayati, pada masa Sultan Alaiddin Ali Riayat Syah IV Saidil Mukammil. Pencapaian menuju Benteng Inong Balee melalui jalan raya beraspal arah Banda Aceh–Mesjid Raya berbelok ke arah kiri berlanjut melalui jalan tanah. Kemudian sekitar 1 km melintasi jalan tanah tersebut maka akan dijumpai benteng yang berada di tepi jurang, dan di bawahnya terdapat pantai yang dihiasi karang-karang terjal. Benteng berdenah persegi panjang menghadap ke barat yaitu arah laut/Selat Malaka.
Batas tembok di sisi utara berupa tanah landai yang penuh dengan semak belukar, sisi timur juga semak belukar, sisi selatan areal perladangan, dan sisi barat sekitar 10 m adalah jurang. Konstruksi tembok benteng yang masih tersisa kini di bagian barat berupa tembok yang membujur utara-selatan, dan di bagian utara dan selatan membujur timur-barat. Kemudian di bagian timur terdapat struktur pondasi berukuran panjang sekitar 20 m. Bahan bangunan penyusun tembok benteng terbuat dari batuan alam berspesi kapur. Tembok benteng di bagian barat memiliki ukuran panjang 60 m, tebal 2 m, dan tinggi 2,5 m, tembok benteng di bagian utara berukuran panjang 40 m, tebal 2 m, dan tinggi bagian dalam 1 m. Sedangkan tembok di bagian selatan berukuran panjang 60 m, tebal 2 m, dan tinggi bagian dalam 1 m. Pada tembok yang membujur utara-selatan di bagian barat terdapat 4 lubang pengintaian menyerupai bentuk tapal kuda. Tinggi lubang pengintaian bagian dalam sekitar 90 cm, lebar 160 cm, sedangkan tinggi lubang bagian luar sekitar 85 cm dan lebar 100 cm. Posisinya yang mengarah ke Selat Malaka jelas berfungsi untuk mengawasi terhadap lalu-lalang kapal laut. Benteng Inong Balee sering disebut juga Benteng Malahayati. Benteng ini merupakan benteng pertahanan sekaligus sebagai asrama penampungan janda-janda yang suaminya gugur dalam pertempuran. Selain itu juga digunakan sebagai sarana pelatihan militer dan penempatan logistik keperluan perang.
Kompleks Makam Laksamana Malahayati
Sekitar 3 km dari Benteng Inong Balee terdapat kompleks makam Laksamana Malahayati, yang berada di puncak bukit kecil. Di sekeliling areal makam ini adalah perladangan penduduk. Untuk mencapai kompleks makam tersebut dapat ditempuh dengan cara menaiki susunan anak tangga yang terbuat dari semen. Areal makam dibatasi pagar tembok dengan pintu di sisi timur. Ada tiga makam yang berada dalam satu jirat dan dinaungi satu cungkup. Jirat berbentuk persegi panjang terbuat dari semen yang dilapisi keramik putih. Ukuran tinggi jirat dari permukaan tanah sekitarnya adalah 30 cm.
Makam pertama berada di sisi barat dilengkapi sepasang nisan tipe pipih bersayap. Bagian kaki berbentuk balok, antara kaki dan badan terdapat pelipit. Bagian bawah badan berhiaskan kuncup bunga teratai. Terdapat 3 panel kaligrafi berbingkai di tengah badan nisan, hiasan sulur-suluran di bagian sayap nisan. Puncak nisan berbentuk atap limasan. Makam kedua berada di antara Makam pertama dan Makam ketiga, tipe nisan pipih tanpa sayap. Kaki nisan berbentuk balok, antara kaki dan badan terdapat pelipit. Pada bagian bawah nisan berukirkan kuncup bunga teratai. Pada bagian tengah badan terdapat 3 panel kaligrafi berbingkai dan motif garis-garis. Bahu kiri dan kanan nisan meruncing ke atas. Di atas bahu nisan terdapat dua susun mahkota teratai yang diakhiri bagian puncak berbentuk atap limasan. Makam ketiga terletak di sisis timur dari makam kedua. Ukuran nisan lebih kecil dari makam pertama dan makam kedua. Bentuk nisan pipih tanpa sayap. Nisan yang berada di bagian utara dan selatan telah patah. Selain nisan aslinya yang telah patah, nisan di bagian utara juga ditandai dengan batuan alam.
Tulisan ini diambil dari Sutrisna, Deni, 2008, Benteng Inong Balee Dan Kompleks Makam Laksamana Malahayati Di Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, http://balarmedan.wordpress.com.
Kepustakaan
Ambary, Hasan Muarif, 1996. Makam-makam Islam di Aceh dalam Aspek-aspek Arkeologi
——————–,1998. Menemukan Peradaban, Arkeologi dan Islam di Indonesia.
Hasjmy, A, 1975. Iskandar Muda Meukuta Alam.
——————–, 1976. 59 Tahun Aceh Merdeka dibawah Pemerintahan Ratu.
Jamil, M Yunus, 1959. Gajah Putih. Banda Aceh: Lembaga Kebudayaan Aceh
Mann, Richard, 2004. 400 Years And More of The British In
Perret, Daniel dan Kamarudin AB. Razak, 1999. Batu Aceh Warisan Sejarah Johor. Selangor: Yayasan Warisan Johor dan EFEO
Pramono, Djoko, 2005. Budaya Bahari.
Soekmono, R, 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan
Tim, 1978. Adat Istiadat Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
Tim P3SKA, 1998. Buku Objek Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Aceh. Banda Aceh: Perkumpulan Pecinta Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Aceh (P3SKA).
Tim Penyusun, 1994. Kamus Besar Bahasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar