Senin, 18 Februari 2013
Museum R.A. Kartini Rembang
Rabu, 29 Juli 2009
Solo Touring
Sebenarnya perjalanan ini tidak direncanakan. Malam Sabtu, saya sempat bilang ke istri bahwa ada keinginan untuk pergi ke
Sabtu pagi, tiba-tiba keinginan itu muncul lagi. Sekali lagi bilang ke istri, boleh ga pergi ke
Ternyata banyak juga bawaannya. Sebelum berangkat, sebenarnya agak ragu, karena kondisi motor yang kurang fit, ditambah kondisi badan juga agak kurang fit. Kepala agak sedikit pusing. Tapi karena sudah lama tidak mengendarai motor jarak jauh sejak kecelakaan pada Agustus 2007, keinginan untuk solo touring itu sangat kuat. Sekitar tiga hari sebelum berangkat, motor sering seperti over heat atau keabisan bensin, ndut-ndutan gitu, terutama setelah motor berlari lebih kurang 80 km/jam dengan jarak sekitar 5 atau 6 km. Aneh… padahal baru diservis dan ganti oli. O. ya, waktu ganti oli, mekaniknya lupa masang tutup oli yang dibawah, jadi waktu oli dituang, olinya keluar lagi. Lucu juga, baru kali pertama kejadian seperti ini. Lalu oli yang terbuang coba ditampung pake wadah bekas oli lain. Kemudian, karena oli yang baru ada yang terbuang, maka ditambahkan oli lagi. Nah ada kecurigaan, waktu ditambah oli, mungkin olinya kebanyakan (lebih dari 1 liter). Karena, kalo ga salah, kalo olinya kebanyakan, mesin jadi cepat panas.Benar saja, ketika hampir mendekati daerah Jonggol, motor jadi ndut-ndutan lagi. Akhirnya berhenti, tentunya di tempat yang aman dan pemandangan yang cukup indah. Tidak lupa ambil foto. Setelah lebih kurang
Setelah berhenti, buka sarung tangan, buka helm, buka masker, buka jaket, dan terakhir buka pelindung siku. Kaos mulai basah dengan keringat. Mulailah membuka fairing sebelah kiri. Coba atur selang bensin, Karena ada dugaan juga selang bensin yang agak menekuk membuat aliran bensin tidak lancar. Setelah itu, kran bensin diputar ke posisi on. Dengan harapan besin yang mengalir ke karburator adalah bukan dari dasar tanki yang diduga mengandung air. Setelah selesai, tutup kembali fairing. Tidak lupa pekerjaan ini diakhiri dengan minum air yang memang kondisi saat cukup panas.
Mulailah pake pelindung siku, pakai jaket, pake masker, pakai helm, dan terakhir sarung tangan.
Pemandangannya sangat indah dengan hamparan sawah, mm..........
P
Dalam perjalanan Jonggol ke Cianjur berhenti beberapa kali, tidak lupa si blackrironhorse difoto dulu. Sampai di Ciranjang gerimis mulai turun. Tapi karena tidak kunjung hujan, diputuskan tidak usah berhenti dan tidak usah pakai jas hujan. Jalan terus. Tetapi ini malah menjadi keasikan tersendiri. Pernalanan jadi tidak mototon dan tidak membt ngantuk. Karena pada jalan rusak jadi terasa off road.
Menjelang Padalarang badan mulai terasa lelah. Jika sebelumnya berhenti karena ada masalah atau hanya sekadar menikmati pemandangan. Nah berhenti di tempat ini benar-benar karena sudah lelah. Berhenti di tempat ini cuma buka sarung tangan, helm dan masker. Lalu ambl air minum. Minum sepuasnya agar hausnya hilang. O ya,
Setelah lebih kurang 15 menit. Mulai siap-siap meneruskan perjalanan, pake masker, helm lalu sarung tangan. Yes, badan sudah fit, sakit kepala yang dirasakan tadi pagi telah hilang. Di sepanjang perjalanan terus-menerus membaca Subhanallah, karena perjalanan ini sungguh membuat hati riang. Maklum sudah dua tahun tidak pernah jalan jauh lagi.
Masuk padalarang, jalur mulai padat, dan banyak sekali truk, sehingga perjalalan mulai melambat. Tapi sabar, ingat kata istri “hati-hati dan jangan ngebut”, Berbeda dengan perjalalan sekitar 2004, 2005 dan 2006, terutama sebelum menikah. Inginnya ngebut terus. Kalo ada truk atau bis yang menghalangi, tancap gas, lalu susul. Dulu sepertinya ga ada rasa takut. Tapi sekarang… ngga ah…… takut…….
Situ Ciburuy yang "laukna hese dipancing"
Sampai di Ciburuy berhenti sebentar, minum lalu ambil foto. Masuk Cimareme, hati semakin senang, wah akhirnya sampai juga. Eh… ternyata kok lama juga sampai rumah kakak di
Sampai di rumah jam 15.30. orangtua tercinta sudah menunggu di teras rumah. Mereka baru
Tapi sayang, hari senin, 27 Juli 2009 harus kembali bekerja. Jadi kesokan harinya sudah harus bergegas pulang ke
Malamnya, saya coba cerita pada kakak saya mengenai keadaan motor saya. Akhirnya direncanakan besok pagi tanki motor akan dikuras.
Lihat tuh, bensinnya masih berwarna biru jernih, padahal sudah dikocok-kocok, bahkan bensin yang ada dalam baskom sudah dijadikan "cairan pencuci". Kotorannya mengendam di pangkal fileter yang berbentuk batang.
Kemudian buka kran bensin, dan ternyata pada filter yang berbentuk batang berwarna kuning tua sepanjang sekitar 15 cm terdapat endapat kotoran. Tapi kotoran ini seperti pasir dan bubuk besi. Jadi jika bercampur bensin, tidak membuat bensin keruh, karena butirannya cukup besar. Setelah kotoran ini dibuang, filter dipasang kembali, dan kran dipasang pada tanki.
Nah sebelum tanki dipasang, bensin yang berada dalam jerigen dimasukan kembali ke dalam tanki. Sementara bensin yang berada di dalam baskom digunakan untuk membersihkan bagian-bagian motor dan bagian dasar tanki yang kotor. Sambil menyelam minum air gitu.
Setelah semuanya dipasang,lalu coba dihidupkan. Dan ternyata lancer …….. alhamdulillah …….. setelah itu siap-siap, packing barang-barang. Berharap perjalanan pulang kali ini lebih ringan. Tapi…… ternyata oleh-oleh yang dibawa ke
Setelah pamit pada orangtua dan semua keluarga yang saya cintai. Mulailah mengenakan perlengkapan seperti biasa. Karena bensin di dalam tanki berkurang, begitu sampai perempatan Cigereleng belok ke arah selatan, isi bensin dulu di SPBU dekat jalan tol Padaleunyi. Setelah itu perjalanan dimulai. Setelah hampir sampai di Cimareme, baru ada keputusan untuk mengambil jalur Padalarang (Tagogapu) ke arah Purwakarta.
Setelah melewati kepadatan Cimareme, kemudian belok ke kanan ke arah Tagog Apu. Aduh di sini macet sekali. Tetapi setelah itu….. mmmmmm… jalur kosong, jalanan aspal cukup bagus. Aduh senanngnya. Baru beberapa menit berjalan, karena pemandangan cukup indah, akhirnya diputuskan untuk berhenti. Tidak lupa mengambil kamera untuk mengabadikan momen ini. Setelah itu…… wah….. jalannya luar bisa, berliku dan bagus. Kendaraan tidak begitu banyak. Ini adalah perjalanan yang sangat memuaskan….. alhamdulillah…. Setelah sekian lama…..
Setelah sekian lama menelusuri jalan berliku, akhirnya sampai di Kota Purwakarta.
Singkat cerita sampailah di jalur menuju Karawang. Oleh karena, tidak banyak yang bisa diceritakan di jalur ini. Sampai di Kota Karawang sempat berhenti sebentar, dan kali ini sempat ambil gambar dengan kamera kecilku dari kado pernikahan ku pada 2006 lalu. Ah, kamera jadul, tapi tidak apa. Setelah rasa lelah mulai hilang, perjalanan pun dilanjutkan menuju Bekasi. Nah, di jalur inilah rasa lelah begitu terasa, karena kondisi jalan yang kurang baik. Hampir sepanjang jalan banyak aspal yang ditambal, sehingga permukaannya tidak rata.
Tapi ada hikmanya. Selain laju motor tidak bisa kencang, juga banyak “bertemu” biker yang menuju
O ya, waktu kecelakaan pada Agustus 2007, ibu jari kanan luka dalam cukup parah. Rasa sakit jika ditekuk ke dalam baru hilang dalam waktu hampir satu tahun. Nah waktu melalukan perjalanan kali ini, tangan kanan serasa terlalu cepat lelah menggenggam. Waktu berhenti di Kerawang, coba ibu jari tangan kanan diraba, terutama pada bagian yang pernah sakit. Dan ternyata, agak sakit, dan bunyi krek-krek di ruas kedua kambuh lagi. Oh… ternyata ini adalah luka dalam yang cukup parah.
Karena selelah melalui jalur Karawang-Bekasi yang membosankan, akhirnya sampai juga di
Inilah sedikit kisah perjalanan kali ini, walaupun Cuma 375 km, tetapi sangat memuaskan. Nanti, jika ada waktu, dan tentunya jika direstui istri, tentu akan ada kisah perjalanan yang lainnya.
Senin, 15 Juni 2009
HEBATNYA PEREMPUAN NUSANTARA: Martha Christina Tiahahu
Martha Christina Tiahahu dilahirkan di Abubu Nusalaut pada 4 Januari 1800 merupakan anak sulung dari Kapitan Paulus Tiahahu dan masih berusia 17 tahun ketika mengikuti jejak ayahnya memimpin perlawanan di Pulau Nusalaut. Pada waktu yang sama Kapitan Pattimura sedang mengangkat senjata melawan kekuasaan Belanda di Saparua. Perlawanan di Saparua menjalar ke Nusalaut dan daerah sekitarnya.
Sementara di Saparua pertempuran demi pertempuran terus berkobar. Oleh karena semakin berkurangnya persediaan peluru dan mesiu pasukan rakyat mundur ke pegunungan Ulath-Ouw. Di antara pasukan itu terdapat pula Martha Christina Tiahahu beserta para Raja dan Patih dari Nusalaut.
Di tengah keganasan pertempuran itu muncul seorang gadis remaja bercakalele menantang peluru musuh. Dia adalah putri Nusahalawano, Martha Christina Tiahahu, srikandi berambut panjang terurai ke belakang dengan sehelai kain berang (kain merah) terikat di kepala. Dengan mendampingi sang Ayah dan memberikan kobaran semangat kepada pasukan Nusalaut untuk menghancurkan musuh, jujaro itu telah memberi semangat kepada kaum perempuan dari Ulath dan Ouw untuk turut mendampingi kamu laki-laki di
Pada 12 Oktober 1817 Vermeulen Kringer memerintahkan serangan umum terhadap pasukan rakyat, ketika pasukan rakyat membalas serangan yang begitu hebat ini dengan lemparan batu, para Opsir Belanda menyadari bahwa persediaan peluru pasukan rakyat telah habis. Vermeulen Kringer memberi komando untuk keluar dari kubu-kubu dan kembali melancarkan serangan dengan sangkur terhunus. Pasukan rakyat mundur dan bertahan di hutan, seluruh negeri Ulath dan Ouw diratakan dengan tanah, semua yang ada dibakar dan dirampok habis-habisan.
Martha Christina dan sang Ayah serta beberapa tokoh pejuang lainnya tertangkap dan dibawa ke dalam kapal Eversten. Di dalam kapal ini para tawanan dari Jasirah Tenggara bertemu dengan Kapitan Pattimura dan tawanan lainnya. Mereka diinterogasi oleh Buyskes dan dijatuhi hukuman. Karena masih sangat muda, Buyskes membebaskan Martaha Christina Tiahahu dari hukuman, namun sang Ayah, Kapitan Paulus Tiahahu tetap dijatuhi hukuman mati.
Mendengar keputusan tersebut, Martha Christina Tiahahu memandang sekitar pasukan Belanda dengan tatapan sayu namun kuat yang menandakan keharuan mendalam terhadap sang Ayah. Tiba-tiba Martha Christina Tiahahu merebahkan diri di depan Buyskes memohonkan ampun bagi sang ayah yang sudah tua, namun semua itu sia-sia. Pada 16 Oktober 1817 Martha Christina Tiahahu beserta sang Ayah dibawa ke Nusalaut dan ditahan di benteng Beverwijk sambil menunggu pelaksanaan eksekusi mati bagi ayahnya.
Martha Christina Tiahahu mendampingi sang Ayah pada waktu memasuki tempat eksekusi, kemudian Martha Christina Tiahahu dibawa kembali ke dalam benteng Beverwijk dan tinggal bersama guru Soselissa. Sepeninggal ayahnya Martha Christina Tiahahu masuk ke dalam hutan dan berkeliaran seperti orang kehilangan akal. Hal ini membuat kesehatannya terganggu.
Dalam suatu Operasi Pembersihan pada Desember 1817 Martha Christina Tiahahu beserta 39 orang lainnya tertangkap dan dibawa dengan kapal Eversten ke Pulau Jawa untuk dipekerjakan secara paksa di perkebunan kopi. Selama di atas kapal ini kondisi kesehatan Martha Christina Tiahahu semakin memburuk, ia menolak makan dan pengobatan. Akhirnya pada tanggal 2 Januari 1818, selepas Tanjung Alang, Martha Christina Tiahahu menghembuskan nafas yang terakhir. Jenazah Martha Christina Tiahahu disemayamkan dengan penghormatan militer ke Laut Banda.
HEBATNYA WANITA NUSANTARA: Laksamana Keumala Hayati (Malahayati)
Laksamana Keumala Hayati atau Malahayati adalah wanita pejuang Aceh yang terkenal dalam kemiliteran pada masa Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pimpinan pemerintahan Sultan Alaiddin Ali Riayat Syah IV Saidil Mukammil (1589–1604 M). Malahayati diberikan kepercayaan oleh sultan sebagai kepala pengawal dan protokol di dalam dan di luar istana. Saat masih kanak-kanak ibunya telah meninggal dunia, dan selanjutnya diasuh oleh ayahnya yang bernama Laksamana Mahmudsyah (Tim, 1998:19). Malahayati kecil sering diajak ayahnya pergi dengan kapal perang. Pengenalannya dengan kehidupan laut itu kelak membentuk sifatnya yang gagah berani dalam mengarungi laut luas.
Peminjaman kapal tersebut ternyata merupakan bentuk tipu muslihat Belanda, karena ketika para prajurit kerajaan menaiki kapal, kedua kapten kapal tersebut melarangnya, sehingga terjadilah bentrokan yang tak terhindarkan. Dalam peristiwa itu banyak dari pihak Belanda tewas, kedua kaptennya ditangkap oleh pasukan Aceh yang dipimpin oleh Malahayati. Oleh karena kecakapannya itulah kemudian sultan mengangkatnya menjadi Laksamana.
Pada zaman Sultan Alaiddin Ali Riayat Syah IV Saidil Mukammil yang memerintah tahun 997–1011 H (1589–1604), dibentuk satu armada yang sebagian prajurit-prajuritnya terdiri atas para janda yang ditinggalkan suaminya karena gugur dalam perang, yang disebut Armada Inong Balee. Pembentukan armada ini atas izin sultan dan inisiatif Laksamana Malahayati. Armada ini dipimpin oleh Laksamana Malahayati, yang juga merupakan seorang janda yang ditinggal mati suaminya dalam suatu pertempuran laut. Markas pasukan ini berada di Lam Kuta, Krueng Raya Kabupaten Aceh Besar (Tim P3SKA, 1998:14). Salah satu jejak perjuangan yang masih tersisa hingga kini adalah kompleks makam Malahayati yang berada di puncak bukit dan satu benteng yang disebut Benteng Inong Balee di tepi pantai Selat Malaka, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Armada Inong Balee berulangkali terlibat dalam pertempuran di Selat Malaka, daerah pantai timur Sumatera, dan
Pada masa pemerintahan Sultan Muda Ali Riayat Syah V Mukammil yang memerintah dalam tahun 1011–1015 H (1604–1607) keberadaan prajurit wanita itu masih tetap dipertahankan, yaitu dengan dibentuknya Sukey Kaway Istana (Kesatuan Pengawal Istana). Kesatuan Pengawal Istana itu terdiri dari Si Pa-i Inong (prajurit wanita) di bawah pimpinan dua pahlawan wanita: Laksamana Meurah Ganti dan Laksamana Muda Cut Meurah Inseun (Hasjmy, 1975:95).
Kedua pimpinan Kesatuan Pengawal Istana itulah yang telah berjasa membebaskan Iskandar Muda dari penjara tahanan Sultan Muda Ali Riayat Syah V Mukammil (Jamil, 1959:114). Setelah pemerintahan Sultan Muda Ali Riayat Syah V Mukammil berakhir, dilanjutkan oleh Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Perkasa Alam Syah yang memerintah pada tahun 1016–1045 H (1607–1636 M). Pada masa itu Kerajaan Aceh Darussalam berkembang pesat dan mengalami masa keemasannya. Perhatian sultan kepada para prajurit wanita cukup besar. Sultan memperbesar dan mempermodern Angkatan Perang Aceh, di antaranya membentuk suatu kesatuan pengawal istana yang terdiri atas prajurit wanita di bawah pimpinan seorang jenderal wanita, Jenderal Keumala Cahaya. Kesatuan wanita tersebut sebagian merupakan Kesatuan Kawal Kehormatan yang terdiri atas prajurit wanita cantik. Kesatuan ini bertugas menyambut tamu-tamu agung atau para pembesar, baik dari kalangan pembesar kerajaan di Nusantara maupun dari luar/asing, dengan barisan kehormatannya.
Benteng Inong Balee
Benteng Inong Balee berada di Desa Lamreh, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar. Benteng ini disebut Benteng Inong Balee yang pebangunannya dipimpin Laksamana Malahayati, pada masa Sultan Alaiddin Ali Riayat Syah IV Saidil Mukammil. Pencapaian menuju Benteng Inong Balee melalui jalan raya beraspal arah Banda Aceh–Mesjid Raya berbelok ke arah kiri berlanjut melalui jalan tanah. Kemudian sekitar 1 km melintasi jalan tanah tersebut maka akan dijumpai benteng yang berada di tepi jurang, dan di bawahnya terdapat pantai yang dihiasi karang-karang terjal. Benteng berdenah persegi panjang menghadap ke barat yaitu arah laut/Selat Malaka.
Batas tembok di sisi utara berupa tanah landai yang penuh dengan semak belukar, sisi timur juga semak belukar, sisi selatan areal perladangan, dan sisi barat sekitar 10 m adalah jurang. Konstruksi tembok benteng yang masih tersisa kini di bagian barat berupa tembok yang membujur utara-selatan, dan di bagian utara dan selatan membujur timur-barat. Kemudian di bagian timur terdapat struktur pondasi berukuran panjang sekitar 20 m. Bahan bangunan penyusun tembok benteng terbuat dari batuan alam berspesi kapur. Tembok benteng di bagian barat memiliki ukuran panjang 60 m, tebal 2 m, dan tinggi 2,5 m, tembok benteng di bagian utara berukuran panjang 40 m, tebal 2 m, dan tinggi bagian dalam 1 m. Sedangkan tembok di bagian selatan berukuran panjang 60 m, tebal 2 m, dan tinggi bagian dalam 1 m. Pada tembok yang membujur utara-selatan di bagian barat terdapat 4 lubang pengintaian menyerupai bentuk tapal kuda. Tinggi lubang pengintaian bagian dalam sekitar 90 cm, lebar 160 cm, sedangkan tinggi lubang bagian luar sekitar 85 cm dan lebar 100 cm. Posisinya yang mengarah ke Selat Malaka jelas berfungsi untuk mengawasi terhadap lalu-lalang kapal laut. Benteng Inong Balee sering disebut juga Benteng Malahayati. Benteng ini merupakan benteng pertahanan sekaligus sebagai asrama penampungan janda-janda yang suaminya gugur dalam pertempuran. Selain itu juga digunakan sebagai sarana pelatihan militer dan penempatan logistik keperluan perang.
Kompleks Makam Laksamana Malahayati
Sekitar 3 km dari Benteng Inong Balee terdapat kompleks makam Laksamana Malahayati, yang berada di puncak bukit kecil. Di sekeliling areal makam ini adalah perladangan penduduk. Untuk mencapai kompleks makam tersebut dapat ditempuh dengan cara menaiki susunan anak tangga yang terbuat dari semen. Areal makam dibatasi pagar tembok dengan pintu di sisi timur. Ada tiga makam yang berada dalam satu jirat dan dinaungi satu cungkup. Jirat berbentuk persegi panjang terbuat dari semen yang dilapisi keramik putih. Ukuran tinggi jirat dari permukaan tanah sekitarnya adalah 30 cm.
Makam pertama berada di sisi barat dilengkapi sepasang nisan tipe pipih bersayap. Bagian kaki berbentuk balok, antara kaki dan badan terdapat pelipit. Bagian bawah badan berhiaskan kuncup bunga teratai. Terdapat 3 panel kaligrafi berbingkai di tengah badan nisan, hiasan sulur-suluran di bagian sayap nisan. Puncak nisan berbentuk atap limasan. Makam kedua berada di antara Makam pertama dan Makam ketiga, tipe nisan pipih tanpa sayap. Kaki nisan berbentuk balok, antara kaki dan badan terdapat pelipit. Pada bagian bawah nisan berukirkan kuncup bunga teratai. Pada bagian tengah badan terdapat 3 panel kaligrafi berbingkai dan motif garis-garis. Bahu kiri dan kanan nisan meruncing ke atas. Di atas bahu nisan terdapat dua susun mahkota teratai yang diakhiri bagian puncak berbentuk atap limasan. Makam ketiga terletak di sisis timur dari makam kedua. Ukuran nisan lebih kecil dari makam pertama dan makam kedua. Bentuk nisan pipih tanpa sayap. Nisan yang berada di bagian utara dan selatan telah patah. Selain nisan aslinya yang telah patah, nisan di bagian utara juga ditandai dengan batuan alam.
Tulisan ini diambil dari Sutrisna, Deni, 2008, Benteng Inong Balee Dan Kompleks Makam Laksamana Malahayati Di Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, http://balarmedan.wordpress.com.
Kepustakaan
Ambary, Hasan Muarif, 1996. Makam-makam Islam di Aceh dalam Aspek-aspek Arkeologi
——————–,1998. Menemukan Peradaban, Arkeologi dan Islam di Indonesia.
Hasjmy, A, 1975. Iskandar Muda Meukuta Alam.
——————–, 1976. 59 Tahun Aceh Merdeka dibawah Pemerintahan Ratu.
Jamil, M Yunus, 1959. Gajah Putih. Banda Aceh: Lembaga Kebudayaan Aceh
Mann, Richard, 2004. 400 Years And More of The British In
Perret, Daniel dan Kamarudin AB. Razak, 1999. Batu Aceh Warisan Sejarah Johor. Selangor: Yayasan Warisan Johor dan EFEO
Pramono, Djoko, 2005. Budaya Bahari.
Soekmono, R, 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan
Tim, 1978. Adat Istiadat Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
Tim P3SKA, 1998. Buku Objek Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Aceh. Banda Aceh: Perkumpulan Pecinta Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Aceh (P3SKA).
Tim Penyusun, 1994. Kamus Besar Bahasa