Senin, 18 Februari 2013

Museum R.A. Kartini Rembang

Penambahan kata ‘Rembang’ di belakang Museum R.A. Kartini hanya untuk membedakan dengan Museum R.A. Kartini Jepara. Oleh karena memang ada dua museum tentang R.A. Kartini. Museum R.A. Kartini Jepara sudah tentu ada di Jepara, yang lebih banyak “bercerita” tentang masa sebelum beliau menikah. Sementara Museum R.A. Kartini Rembang lebih banyai “bercerita” tentang kehidupannya setelah menjadi permaisuri bangsawan Rembang, dan perjuangannya dengan pena, tinta dan kertas.
Museum R.A. Kartini Rembang berada di Kabupetan Rembang, tepatnya di lokasi yang sekarang menjadi Kantor Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (Disbudparpora) Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Kota Rembang berada di jalur pantai utara (pantura), yang dekat dengan perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda jalur ini bernama Grotepostweg atau jalan raya pos, yang menghubungkan Semarang dan Surabaya. Jalan ini dibuat pada masa Tanam Paksa, dan merupakan bagian dari Jalur Jalan Raya yang dibuat pada masa Herman Willem Daendels. Jalan ini membentang dari Anyer (Banten) ke Panarukan (Gresik) yang dibuat dengan mengikuti garis pantai.[1]
Gedung museum beserta 133 koleksi adalah peninggalan R.A Kartini dan keluarga Bupati Rembang, KRM Adipati Ario Singgih Djojodhiningrat.[2] Jadi Museum R.A Kartini tidak hanya koleksinya yang bersejarah, melainkan bangunannya.

Signifikansi Bangunan Cagar Budaya: Arsitektur

Signifikansi Museum R.A. Kartini terlihat dari desain arsitekturnya. Bangunan Museum R.A Kartini sekilas terlihat berarsitektur khas Jawa dengan pendopo besar di bagian depannya. Namun sebenarnya ada unsur kolonial dari bangunan itu, yaitu pada bagian kolom yang tidak menggunakan kayu, tetapi bahan yang dibuat dari campuran kapur dan pasir[3]. Kolom-kolom bergaya Eropa itu berderet pada bagian luar pendopo dan di bagian ‘koridor’ di depan bangunan utama.
Tiang utama pendopo terbuat dari kayu berbentuk balok yang berukuran besar yang pada bagian dasarnya terdapat umpak. Balok-balok penyangga atap dicat warna hijau dan kuning. Ukurang tiang penyangga itu cukup tinggi, sehingga sirkulasi udara sangat baik dan membuat nyaman. Jauh
sekali dengan keaadan di luar yang sangat panas menyengat. Oleh karena memang lokasi Rembang yang berada di pesisir pantai utara Jawa.
Denah bangunan pendopo dan bangunan utama persegi empat. Bangunan utama terdiri atas beberapa ruang. Ruang utama berada di tengah. Di bagian kiri dan kanan adalah kamar tidur. Di belakang ruang utama ada ruang besar yang berdenah persegi panjang. Pada halaman sebelah kanan terdapat deretan kamar tempat para selir bupati. Kamar mandi ada di bagian kanan sebelah depan.
Pengaruh arsitektur Eropa juga terlihat pada pintu dan jendela yang tinggi. Bentuk pintu dan jendela seperti ini adalah hasil adaptasi arsitektur Eropa terhadap kondisi iklim tropis yang sangat panas dan lembab. Pintu dan jendela di bangunan utama dicat dengan warna hijau. Dindingnya berwarna putih dengan lantai yang terbuat dari susunan tegal yang indah. Ventilasi di atas pintu utama berukuran besar dan berhias ukiran yang sangat indah bercat emas.

Signifikansi Bangunan Cagar Budaya: Koleksi

Museum R.A. Kartini sebagai Bangunan Cagar Budaya memiliki nilai penting yang didukung dengan koleksinya yang dapat menceritakan sejarah dan nilai-nilai perjuangan R.A. Kartini. Koleksi-koleki itu memiliki konteks dengan bangunannya, sehingga nilai-nilai sejarah yang penting yang terkandung di dalamnya itu semakin terlihat.
Di antara pendopo dan ruang utama terdapat foto reproduksi R.A. Kartini yang berukuran cukup besar dengan bingkai berwarna emas. Pada bagian bawahnya dihias berbagai kuntum bunga. Di kamar yang berada si sebelah kiri terdapat satu ranjang kayu berukir. Satu meja berbentuk persegi panjang dengan marmer pada bagian atasnya. Meja ini berfungsi untuk merawat bayi.
Masih di tempat yang sama, ada satu meja rias berbentuk hampir seperti trapesium, yang pada bagian lebarnya tidak lurus, malainkan cembung. Seperti juga meja untuk merawat bayi, meja ini pun menggunakan marmer berwarna putih pada bagian atasnya. Di atas meja rias tersebut terdapat cermin berbentuk lingkaran yang gantungkan pada dinding.
Di kamar mandi di sebelah kanan depan terdapat bathtub peninggalan R.A. Kartini yang kondisinya masih sangat bagus. Bathtub ini berwarna putih berbentuk hampir persegi panjang, yang pada salah satu ujungnya membulat. Kran yang terbuat dari tembaga terdapat pada sisi lebar bagian dalam yang bergaris lurus. Di depan kamar mandi ini (dekat tiang) diletakan bekas closet yang digunakan oleh selir Bupati. Closet ini terbuat dari marmer dengan lubang berbentuk lingkaran di bagian tengahnya. Namun sayang, kondisinya sedikit rusak (pecah) pada salah satu sudutnya.
Di kamar lainnya terdapat reproduksi foto Kartini bersama Kardinah dan Roekmini. Foto tersebut juga dikirim kepada Ny. Rosita Manuela Abendanon-Mandri saat merayakan ulang tahunnya ke-44. Isi surat itu sebgai berikut.
“1 Agustus. Hari ulang tahun temanku manis yang tercinta. Selamat bahagia Sayang. Tiga sekawan mendoakan semoga Nyonya menemui duia kasih say ang dan dalam angan-angan kakak beradik memeluk Nyonya dengan mesra sambil menatakan semua perasaannya terhadap Nyonya.”
Foto reproduksi koleki KITLV lainnya adalah foto Roekmini dan Kartini dari foto koleksi KITLV Leiden. Foto ini dikirim bersama surat tertanggal 1 Agustus 1903 kepada Ny. Rosita Manuela Abendanon-Mandri dalam rangka ulang tahun yang ke-46. Pada bagian belakang foto itu Kartini membubuhkan tandatangannya. Isi surat adalah:
“Untuk Ibu kami tersayang dengan kasih yang tulus, dari putri-putrimu di Jepara, 1 Agustus 1903.”
Di ruang belakang terdapat satu set furnitur yang terdiri atas meja berbentuk lingkaran dan enam kursi dengan sandaran tegak. Semuanya dihias dengan ukuran yang sangat indah. Furnitur tersebut dibuat dari kayu jati, yang ternyata buatan baru. Pemandu menjelaskan bahwa duplikasi ini dibuat dengan mengacu pada data sejarah.
Di ruang ini juga terdapat foto nenek R.A. Kartini. Di bagian bawah foto tersebut ditulis “Eyang Putri R.A Kartini”, tidak jelas siapa namanya. Di sebelahnya terdapat foto kakeknya yang bernama RA. Condro Negoro ke IV (Eyang Kakung R.A. Kartini).
Masih di ruang yang sama, ada foto Roekmini, Kartini, Kartinah, dan Soematri yang berangka tahun 1903. Di sebelah kirinya terdapat keterangan sebagai berikut.
“Empat bersaudara berpose dengan kimono di Rembang. Adik-adik Kartinni menginap beberapa hari di Rembang menemani kakanya yang menempati rumahnya yang baru. di belakang foto ini, R.A Kartini menulis “dengan salam hangat”. Belum diketahui tanggal surat yang menyertai pengiriman foto ini kepada Ny. Rosita Manuela Abendanon-Mandri. Lanjutan tulisan Kartini adalah “perkenalan kami lebih lanjut dengan kakak ipar bertambah hari bertambah menyenangkan seperti yang kami harapkan. Dia orang laki-laki yang semangantnya dapat disebut gemilang, pengetahuan dunianya sangat luas dan di samping itu berhati amat lapang…” (surat Roekmini, 17 November 1903).”
Seperti halnya foto lainnya, foto ini juga merupakan reproduksi dari koleksi KITLV Leiden.
Di ruang ini ada dua karya seni yang dibuat oleh putra R.A Kartini, RM. Soesalit, berupa pahatan pada kayu. Satu karya Soesalit ini mengandung filosofi Jawa bertuliskan “Elinga, Urip iku gaduham, dradjat iku silihan, amal iku karya”. Penulis belum sempat menanyakan artinya, tapi kira-kira jika diterjemahkan oleh penulis yang Sunda tulen ini adalah “Ingat, hidup itu titipan, drajat itu bergantian, dan amal itu adalah prilaku”.
Di museum ini juga terdapat tulisan tangan R.A Kartini pada beberapa lembar kertas. Sayang kondisinya tidak terlalu baik. Tinta pada satu halaman menempel pada halaman lainnya sehingga tulisan hampir tidak terbaca. R.A. Kartini menulisnya dengan menggunakan bahasa Belanda berhuruf sambung italic. Di dekatnya ada buku tua yang cukup tebal. Pada sampulnya bertuliskan “DOOR DUISTERNES TOT LICHT”, yang pada bagian bawahnya tedapat keterangan bertuliskan “Habis Gelap Terbilah Terang (buah karya tulisan tangan R.A. Kartini)”. Koleksi lainnya adalah daftar silsilah keluarga R.A Kartini, radio, serta lukisan tiga angsa yang melambangkan Kartini beserta dua saudaranya (tiga kakak beradik).
Foto lainnya adalah R.A. Kartini bersama suaminya R.M. A.A Djojo Adhinigrat bertanggl 17 Desember 1903. Foto ini dikirim bersama surat pertamanya sejak menikah (8 November 1903) kepada Ny. Rosita. R.A Kartini tiba di Rembang pada 11 November 1903. Isi surat tersebut sebagai berikut.
“Alangkah iri Nyonya kepada saya kalau Nyonnya melihat bunga-bunga mawar kami di sini, setiap pagi saya membuat karangan bunga segar mawar ….. dan mawar kuning. Laut dapat kami lihat dari rumah, nyaman benar, bersama ini kami kirimkan potret terakhir kami berdua. Bagaimana saya sebagai Raden Ayu menurut Nyonya?
Di antara koleksi Museum R.A Kartini ini ada yang menarik, yaitu foto putranya yang diberi nama R.M. Singgih yang kemudian dikenal dengan mama R.M. Soesalit. Bayi Kartini ini lahir pada 13 September 1904, dan empat hari setelahnya R.A. Kartini wafat. Meskipun bayi kartini adalah laki-laki tetapi dalam foto tampak seperti perempuan. Oleh karena memang Kartini memakaikan pakaian bayi perempuan pada Soesalit. Menurut cerita dari pemandu, sebenarnya R.A. Kartini sangat menghendaki bayi perempuan, tetapi Tuhan berkendak lain. Foto ini dilengkapi keterangan tulisan R.A. Kartini yang berbunyi bertanggal 6 Maret 1904:
“Bila Tuhan mengizinkan pada akhir bulan September akan datanglah seorang utusan Tuhan akan memperindah bagi hidup kami yang sudah indah ini, akan memperteguh lebih mempererat tali silaturrahmi yang sekarang sudah mengikat kami berdua”.
Ada satu lagi foto reproduksi Soesalit dengan baju perempuan dan disertai surat bertanggal 6 Agustus 1904 yang isinya adalah sebagai berikut.
“Kalau anak yang saya kandung di bawah jantung hati saya ini perempuan, apakah yang lalu saya harapkan baginya? Saya akan berharap, mudah-mudahan hidupnya kaya dan berisi. Kehidupan yang telah dirintis ibunya, moga-moga dapat diteruskannya. Dia tidak akan dipaksa melakukan sesuatuu yang bertentangan dengan perasaan dalam lubuk hatinya. Apa yang dilakukan, akan dilakukan atas kemauan sendiri yang bebas”.
Foto lainnya adalah R.M. Soesalit yang mengenakan pakaian Jawa. Seperti foto-foto lainnya, foto inipun dilengkapi dengan keterangan berupa surat Kartini bertanggal 30 Juni 1904. Surat itu berbunyi
“sekarang saya sedang mempersiapkan pakaian bayi bagi calon cucu ibu. Adik-adik mengharapkan perempuan, suami saya mengharapkan laki-laki. Apabila lahir perempuan, kasih sayang saya akan berlipat, karena semuanya di sini mengharapkan laki-laki”.
Satu lagi foto Soesalit yang memakai pakaian seperti anak laki-laki bangsawan kebanyakan. Foto ini juga disertai surat, tetapi bukan dari ibunya, melainkan dari ayahnya, Djojo Adhiningrat yang berisi.
“Sementara itu bayinya sehat, segar dan kuat. Saya memberinya nama kecil saya, Raden Mas Singgih”.
Surat ini ditulis oleh Djojo Adhiningrat kepada J.H. Abendanon pada 25 September 1904. Selain surat, foto ini juga dilengkapi dengan catatan Kardinah bertanggal 16 Juli 1964 yang isinya adalah sebagai berikut.
“Yang mengasuh putera Soesalit, selain almarhum ibu Ngasirah, juga kekasih almarhum Bakyu Kartini, wanita tua bernama Mbok Mangunwikromo, tetapi tidak terus-menerus. Setelah Soesalit berumur 6 bulan, almarhum Ibu Ngasirah pulang ke Kabupaten Jepara diikuti oleh Mbok Mangunwikrumo. Adapun selanjutnya yang mengasuh Soesalit ialah keluarga Kabupaten Rembang didampingi akhli waris lainnya yang terhitung tua”.

Sigifikansi Sejarah: Perjuangan R.A. Kartini

Signifikansi sejarah R.A. Kartini terepresentasi dalam koleksinya yang menitikberatkan pada masalah gender[4]. Tentu penggunaan nama ‘R.A. Kartini’ di belakang kata ‘museum’ pun sudah pasti merujuk pada kata ‘perempuan’. Namun tidak hanya sampai di situ, ada beberapa koleksi yang dengan jelas mengarahkan kita pada adanya “pertentangan” antara perempuan dengan laki-laki. Meskipun tidak agresif memberontak, tetapi sekadar memberikan perlawanan melalui teks, bahasa, dan gambar. Inilah inti dari perjuangan R.A. Kartini yang harus dipahami sebagai nilai penting sejarah, dan mungkin juga identitas. Tidak hanya identitas ke-Rembangan, atau ke-Jeparaan, tetapi juga ke-Indonesiaan.
Bangunan Museum R.A Kartini adalah milik Bupati Rembang yang bernama R.M.A.A Djojo Adhiningrat. Sejak menikah R.A Kartini tinggal di rumah megah ini selama 11 bulan. Sungguh waktu yang sangat singkat. Sejak empat hari setelah kelahiran putranya, R.A Kartini wafat. Akan tetapi, bangunan yang sekarang menjadi museum ini tidak disebut sebagai Museum Djojo Adhiningrat, tetapi ‘Museum R.A. Kartini’. Jadi representasi gender terlihat dengan jelas dari panamaan museum ini.
Koleksinya pun didominasi koleksi yang berkonteks dengan R.A Kartini. Seperti keluarganya, barang-barang yang pernah dimilikinya, karyanya, dan foto buah hatinya. Di antara koleksi-koleksi Museum Kartini (dalam tata pamer permanen) ada foto-foto putra beserta surat yang menyertainya. Baik yang dibuat oleh Kartini sendiri, oleh suaminya, maupun catatan-catatan yang berkaitan dengan foto-foto tersebut. Foto dan surat tersebut sangat kental dengan kegenderan.
Foto pertama adalah reproduksi foto hitam putih koleksi KITLV Leiden. Dalam foto itu Soesalit duduk dikursi panjang (mungkin berbahan rotan) bersandar pada satu bantal berhias. Di sisi kiri dan kanannya ada guling kecil. Penulis akui bahwa selama ini belum pernah membaca mengenai sejarah R.A Kartini secara komprehensip. Jika pemandu tidak menjelaskan bahwa sebenarnya Soesalit itu adalah laki-laki mungkin penulis akan mengatakan “cantik sekali putri Kartini ini”. Coba sekali lagi kita simak surat Kartini yang ia tulis pada 6 Maret 1904:
“Bila Tuhan mengizinkan pada akhir bulan September akan datanglah seorang utusan Tuhan akan memperindah bagi hidup kami yang sudah indah ini, akan memperteguh lebih mempererat tali silaturrahmi yang sekarang sudah mengikat kami berdua”.
Surat yang Kartini tulis sekitar tujuh bulan sebelum kelahiran bayinya ini berisi harapan kebahagiaan akan hadirnya si buah hati. Akan tetapi tidak terlihat adanya kesan gender. Coba bandingkan dengan surat kedua yang ditulis pada 6 Agustus 1904
“Kalau anak yang saya kandung di bawah jantung hati saya ini perempuan, apakah yang lalu saya harapkan baginya? Saya akan berharap, mudah-mudahan hidupnya kaya dan berisi. Kehidupan yang telah dirintis ibunya, moga-moga dapat diteruskannya. Dia tidak akan dipaksa melakukan sesuatu yang bertentangan dengan perasaan dalam lubuk hatinya. Apa yang dilakukan, akan dilakukan atas kemauan sendiri yang bebas”.
Surat ini ditulis Kartini sebulan menjelang kelahiran putranya, ia berharap bahwa kelak bayi yang lahir adalah perempuan. Kedua ada pengharapan lain yang Kartini tumpukan pada buah hatinya itu, yaitu agar “putrinya”nya itu kaya dan berisi serta dapat meneruskan kehidupan yang telah Kartini rintis. Juga ada penekanan bahwa meskipun perempuan tetapi tidak dapat dipaksa untuk melakukann sesuatu yang bertentangan dengan nuraninya. Ia bebas melakukan atas kemauannya. Ini awal adalah perjuangan R.A. Kartini.
Dalam surat ketiga yang menyertai foto Soesalit berpakaian seperti laki-laki Jawa pada umumya masa itu. Menggunakan kain batik, bertelanjang kaki dengan baju bergaris duduk di kursi tegak. Dalam foto ini tidak terlihat ada representasi gender, tetapi lain dengan yang ia tuangkan dalam kalimat-kalimatnya.
“sekarang saya sedang mempersiapkan pakaian bayi bagi calon cucu ibu. Adik-adik mengharapkan perempuan, suami saya mengharapkan laki-laki. Apabila lahir perempuan, kasih sayang saya akan berlipat, karena semuanya di sini mengharapkan laki-laki”.
Dalam surat terebut jelas sekali bahwa Kartini lebih ‘berpihak’ pada perempuan, yang entah kebetulan atau tidak, didukung oleh saudaranya. Coba perhatian pada kalimat terakhir dari surat itu “Apabila lahir perempuan, kasih sayang saya akan berlipat, karena semuanya di sini mengarapkan laki-laki”. Ada keberpihakan kepada perempuan dengan penggunaaan kata “kasih sayang saya yang akan berlipat”, yang sekaligus juga memberikan perlawanan atas sesuatu yang seolah lazim di tempat yang bukan miliknya itu dengan kata “karena semuanya di sini mengharapkan laki-laki”. Kelaziman itu juga terlihat dari surat yang ditulis oleh suaminya pada foto Soesalit yang memakai pakaian ala Eropa dengan jas, sepatu boot dan tangan kanannya memegang buku. Bupati Djojo Adhiningrat menulis “Sementara itu bayinya sehat, segar dan kuat. Saya memberinya nama kecil saya, Raden Mas Singgih”. Kalimat dalam surat suami Kartini ini jelas menempatkan Soesalit yang memang laki-laki sebagai laki-laki.
Representasi gender juga terlihat dari karya seni rupa yang dilukis oleh Kartini. Lukisan itu bergambar tiga angsa. Pemandu menjelaskan kepada penulis, entah sumbernya dari mana, bahwa tiga angsa itu melambangkan tiga bersaudara, Kartini, Kardinah dan Roekmini yang semuanya perempuan. Mempersonifikasikan angsa oleh Kartini dalam lukisan itu mungkin karena sama-sama memiliki keindahan. Akan tetapi juga memiliki interpretasi lain, bahwa perempuan itu harus seperti angsa yang berenang bebas di air yang segar dan menyegarkan.
Akan tetapi untunglah Soesalit yang pernah diberi pakaian perempuan ini setelah dewasa dengan gagahnya menggunakan pakaian tentara berpangkat Mayor Jenderal. Apakah ia tidak menjadi “Kartini” yang R.A. Kartini harapkan? Apakah dengan menjadi Mayjen RM. Soesalit Djojoadhiningrat yang berkesan jantan sangat bertolak belakang dengan Kartini? Tidak juga, Soesalit tetap melanjutkan semangat Kartini agar semuanya tetap terang. Semangat keperempuanan Kartini tumbuh dalam diri Soesalit agar semua mendapatkan hak dan keadilan yang sama.

Otentifikasi

Museum R.A. Kartini dapat dikategorikan sebagai Museum Rumah Bersejarah, tetapi juga bisa juga sebagai Museum Situs. Sebagai Museum Rumah Berejarah, karena memang bangunan besera koleksinya memiliki konteks sejarah dengan tokoh yang pernah tinggal di dalamnya. Menurut Young (2007) ada beberapa hal yang menjadikan suatu rumah menjadi bersejarah dan dapat dijadikan sebagai museum. Di antaranya orang yang pernah tinggal di suatu rumah adalah seorang pahlawan bagi negaranya. Koleksinya yang terdiri atas furnitur dan perabot yang merupakan bagian asli rumah bersejarah atau berasal dari penduduk asli yang tinggal di lokasi yang sama dengan rumah bersejarah itu. Desain rumah bersejarah itu harus memiliki keistimewaan, terutama dalam hal bentuk, dekorasi, teknik, dan estetikanya. Young melanjutkan bahwa suatu kejadian bersejarah yang penting yang terjadi dalam suatu rumah dapat menjadi alasan penting bagi pendirian museum rumah bersejarah. Kemudian ada sentimen, baik yang berhubungan dengan spiritual atau ikatan suatu komunitas, pada suatu rumah dapat menjadikannya sebagai museum rumah bersejarah. Meskipun tidak terfokus pada keantikan atau keunikan koleksinya, melainkan pada sejarahnya saja. Dari kutipan terebut jelas bahwa Museum R.A. Kartini adalah Bangunan Cagar Budaya yang otentik, karena bangunan, koleksi, dan tokohnya berkonteks sejarah yang sama, yang memiliki nilai penting bagi Bangsa Indonesia.
Museum situs purbakala hanya dapat didirikan di situs atau kawasan yang memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Museum situs purbakala harus dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ideologi, akademis, dan ekonomis. Koleksi museum situs purbakala harus berupa temuan, hasil penelitian, dan/benda-benda yang berasal dari situs tersebut, dan koleksi yang berasal dari situs lain harus berupa temuan yang memiliki hubungan dengan situs tempat didirikannya museum. [5] Museum R.A. Kartini adalah Bangunan Cagar Budaya yang in situ, sehingga situsnya pun menjadi penting. Oleh karena museum ini berada di situs, maka statusnya bisa sebagai museum situs. Lokasi, material, dan desain arsitektur Museum R.A. Kartini masih in situ, asli dan terawat, sehingga keotentikannya dapat dipertanggungjawabkan.

Kesimpulan

Museum R.A. Kartini adalah museum sejarah yang merepresentasikan semangat perempuan untuk dapat menikmati hidup dan kehidupannya. Untuk dapat sejajar sesuai dengan haknya. Perjuangannya dilakukan dengan anggun dan berwibawa melalui tulisan-tulisan yang gemulai. Siapapun tidak merasa ditantang atau dikhianati. Warisannya sangat berharga sebagaimana Kartini sangat menghargai buah hatinya sebagai ahli waris. Warisan yang ia tinggalkan bukanlah harta, tetapi karya. Ahli warisnya bukanlah Kartini lagi, tetapi Soesalit yang memiliki semangat luar biasa seperti Kartini. Keduanya menentang ketidakadilan.
Nilai penting yang terkandung pada Museum R.A. Kartini Rembang sebagai Bangunan Cagar Budaya terutama terletak pada sejarah, arsitektur, ilmu pengetahuan. Signifikansi sejarah Museum R.A. Kartini Rembang ada pada “habis gelap terbitlah terang”. Di tempat inilah R.A. Kartini mulai menarikan penanya untuk merangkai kata-kata yang sebelumnya tidak terlintas di benak para wanita pribumi Jawa di bawah kungkungan Nederlandsche Indie. Ini adalah bentuk perlawanan yang anggun namum memiliki kekuatan luar biasa. Membukakan mata, pikiran, dan wawasan pejuang saat itu, saat ini, dan mungkin juga yang akan lahir di kemudian hari. Memberikan warna pahlawan Indonesia yang tidak hanya ‘didominasi’ laki-laki.
Signifikansi pada bidang rancang bangun juga sangat luar biasa. Bangunan yang dulu dimiliki oleh Bupati Rembang itu didesain dengan menggambungkan teknologi tradisional (vernacular) Jawa dengan bentuk pendopo, tetapi menggunakan kolom-kolom bergaya Eropa. Pada bagian belakang, tembok-tembok tembal bercat putih sangat kental dengan teknologi kolonial yang diadaptasikan dengan iklim tropis. Tembok itu dibuat dengan menggunakan bahan campuran kapur dan pasir. Selain tebal dinding itu juga tinggi, dengan jendela-jendela dan pintu berukuran besar, yang membuat ruang di dalamnya menjadi segar saat siang hari, dan tidak terlalu dingin dan lembab pada malam hari.
Signifikansi ilmu pengetahuan sangat banyak. Sebarnya sejarah dan arsitekpun adalah bagian dari ilmu pengetahuan. Akan tetapi nilai penting itu ada pada Bangunan Cagar Budaya yang dapat dijadikan objek penelitian berbagai bidang ilmu. Koleksi yang tedapat di Museum R.A. Kartini Rembang juga dapat menjadi bahan kajian, seperti masalah gender yang telah dibahas, meski tidak terlalu dalam. Semua itu menjadi sangat berharga, tidak hanya bagi Rembang, tetapi bagi Bangsa Indonesia. Kartini menjadi salah satu ‘simbol’ dan penyemangat bagi perlawanan rakyat melawan Nederlandsche Indie saat itu, dan tauladan bagi rakyat Indonesia saat ini dan mendatang.
Museum R.A. Kartini telah mereprsentasikan masalah gender, meskipun dengan koleksi yang terbatas. Akan tetapi ini bukanlah hambatan. Mengomunikasikan koleksi kepada masyarakat harus lebih ditingkatkan melalu manajemen yang baik dan kreatif. Agar pemaknaan dapat dengan aktif dilakukan oleh masyarakat, pengunjung harus lebih berperan dalam museum. Pengalaman interaktif pun harus diperoleh oleh pengunjung agar mereka dapat membangunan pengetahuannya sendiri di dalam museum. Ini akan menjadikan Museum Kartini sebagai identitas, tidak hanya bagi Rembang dan Jepara, tetapi juga bangsa ini, Indonesia.
Museum R.A. Kartini memiliki signifikansi sejarah, arsitektur dan ilmu pengetahuan yang sudah selayaknya menjadi Bangunan Cagar Budaya yang otentik dan berperingkat nasional. Museum R.A. Kartini adalah Bangunan Cagar Budaya yang memiliki nilai penting bagi Bangsa Indonesia, yang sudah dirasakan bertahun-tahun lalu, dan harus tetap lestari.

Referensi

Acker, J. (1992). “Gendered institutions: From sex roles to gendered institutions:, dalam Contemporary Sociology, 21(5). 565–569.
American Psychological Association. (2007). Lesbian, gay, bisexual and trangender concerns. Retrieved December 18, 2007, from http://www.apa.org/pi/lgbc/
Deaux, K. (1984). “From individual differences to social categories: Analysis of a decade’s research on gender”, dalam American Psychologist, 39(2), 105–116.
Diamond, M. (2002). “Sex and gender are different: Sexual identity and gender identity are different”, dalam Clinical Child Psychology & Psychiatry, 7(3), 320–334.
http://disbudpar.jatimprov.go.id/museum/117-pedoman-penyelenggaraan-museum-situs.html
Lorber, J. (1995). Paradoxes of Gender. New Haven: Yale University Press.
Mertens, Donna, et. al (2008) M or F? Gender, Identity, and the Transformative Research Paradigm, dalam Museums & Social Issues, Vol. 3, No. 1, Spring 2008: Left Coast Press, Inc. Hlm. 81–92.
World Health Organization. (2007). Integrating gender analysis and actions into the work of WHO. Retrieved December 18, 2007, from http://www.who.int/gender/mainstreaming/integrating_gender/en/index.html
Young, Linda (2007) “Is There a Museum in the House? Historic Houses as a Species of Museum”, dalam Museum Management and Curatorship. Vol. 2, No. 1, Hlm. 59–77.



[1]     http://fotokita.net/cerita/129774661300_0030261/bangunan-tua-bersejarah-di-lasem
[2]     http://suaramerdeka.com
[3]     Di Maluku bahan seperti ini disebut dengan kalero.
[4]     Gender yang dibahas dalam essai ini merujuk pada definisi yang dikemukakan oleh para ahli. Di antaranya Mertens (2008) yang menguraikan mengenai gender secara lengkap. Namun Mertens juga mengutip beberapa pernyataan dari berbagai sumber, di antaranya sebagai berikut. Secara ontology bahwa seks, identitas seks, gender, dan identitas gender itu memiliki dasar sejarah, budaya, dan biologi. Selama hampir setengah abad, seks dan gender telah didefinisikan agar lebih konsisten, seperti seks untuk masalah biologi dan gender masalah psikologi (Acker 1992; Deaux 1984; Diamond, 2002; Lorber, 1995; World Health Organization, 2007). Asosiasi Psikologi Amerika menyatakan (2007) bahwa gender adalah fenomena psikologis yang menghubungkan seks dalam relasinya dengan sikap dan tingkah laku. Jadi gender dalam essai ini tidak membandingkan konteks perempuan dan laki-laki yang berelasi dengan seks, tetapi lebih ke psikologi dan tingkah laku.

[5]     http://disbudpar.jatimprov.go.id/museum/117-pedoman-penyelenggaraan-museum-situs.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar