Rabu, 15 April 2009

Tanam paksa seperti gabus untuk mengapung

Setelah kembali menguasai Indonesia, pemerintahan Belanda dipegang oleh tiga orang komisaris Jenderal yaitu Elout, Van der Capellen dan Buyskes. Keuangan Belanda merosot karena selain kerugian VOC yang harus dibayar, juga karena biaya yang amat besar untuk menghdapi perang Diponegoro dan perang Paderi. Sementara di Eropa, Belgia memisahkan diri pada 1830 padahal daerah industri banyak di wilayah Belgia.
Untuk mengatasi kesulitan ekonomi tersebut maka diberangkatkanlah Johannes Van den Bosch sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda dengan tugas meningkatkan penerimaan negara untuk mengatasi masalah keuangan Bagaimana cara Van den Bosch meningkatkan penerimaan negara? Ia memberlakukan sistem tanam yang kemudian menjadi tanam paksa. Peraturan tanam paksa yang dikeluarkan Van den Bosch mewajibkan rakyat membayar pajak dalam bentuk hasil pertanian (inatura) khususnya kopi, tebu dan nila. Dengan demikian akan diperoleh barang eksport yang banyak untuk dikirim ke Belanda dan dijual ke Eropa serta Amerika. Dalam tanam paksa itu terdapat beberapa ketentuan pokok, yaitu:
1. Penduduk diharuskan menyediakan sebagian tanahnya untuk tanaman yang laku dijual (dieksport) ke Eropa.
2. Tanah yang dipergunakan tidak melebihi 1/5 tanah yang dimiliki penduduk desa.
3. Waktu untuk memelihara tanaman tidak melebihi waktu yang diperlukan untuk memelihara tanaman padi.
4. Bagian tanah yang ditanami tersebut bebas pajak.
5. Bila hasil bumi melebihi nilai pajak yang harus dibayar rakyat maka kelebihan hasil bumi tersebut diberikan kepada rakyat.
6. Jika gagal panen yang tidak disebabkan oleh kesalahan petani maka kerugian di tanggung pemerintah
7. Penduduk yang bukan petani wajib bekerja di kebun, pabrik atau pengangkutan untuk kepentingan Belanda.
Apakah peraturan tanam paksa tersebut dijalankan dengan baik oleh para Bupati, Kepala desa dan pegawai Belanda yang lain? Jika
tanam paksa diterapkan sesuai peraturan tidaklah terlalu membebani rakyat. Dalam praktiknya terjadi banyak penyimpangan sehingga rakyatlah yang menjadi korban. Mengapa demikian? Karena adanya iming-iming agar para Bupati, Kepala desa serta pegawai Belanda yang bekerja dengan sungguh-sungguh akan diberi perangsang yang disebut Culture procenten yaitu bagian (prosen) dari tanaman yang disetor sebagai bonus selain pendapatan yang biasa mereka terima.
Contoh penyimpangan adalah tanah yang dipakai bisa lebih dari 1/5 bagian, selisih harga tidak diberikan ke petani, kegagalan panen ditanggung petani. Rakyat masih diwajibkan kerja rodi. Dengan penyimpangan tersebut para aparat pemerintah dan Bupati dapat mengumpulkan Cultur procenten yang banyak untuk memperkaya diri di atas penderitaan rakyat. Terjadi kemiskinan, kelaparan dan kematian. Contoh di Cirebon (1844), Demak (1848), Grobogan
Purwodari (1849).
Adakah dampak positi
f tanam paksa? Bagi bangsa Indonesia mulai dikenal tanaman baru serta cara memeliharanya serta meningkatkan pengairan.
Penyimpangan terhadap aturan tanam paksa menimbulkan reaksi. Hal ini mengakibatkan berbagai pihak menuntut agar sistem tanam paksa dihapuskan. Ada dua golongan yang bereaksi terhadap penyimpangan tanam paksa yaitu golongan humanis dan pengusaha.
1. Golongan humanis. Ada dua tokoh dari golongan ini yang sangat gigih berjuang untuk kemanusiaan yaitu: Yang pertama adalah Baron Van Houvel. Ia seorang pendeta yang mengungkapkan kesengsaraan rakyat akibat tanam paksa baik di majalah, forum pertemuan maupun di DPR Belanda. Yang kedua adalah duard Douwes Dekker dengan nama samaran Multatuli (berarti Aku yang banyak menderita). Ia menulis satu buku yang berjudul Max Havelaar
atau Lelang kopi Persekutuan Dagang Belanda tahun 1859. Dalam bukunya ia melukiskan penderitaan rakyat akibat tanam paksa.
2. Golongan pengusaha swasta Belanda yang menghendaki adanya kebebasan berusaha di Indonesia melalui sidang Parlemen di Belanda.
Dampak kritikan tersebut tanam
paksa mulai dihapuskan secara bertahap, salah satunya penghapusan tanaman nila, teh dan kayu manis pada 1865 karena kurang menguntungkan. Kemudian berturut-turut pada 1866 tembakau, pada 1884 tebu, dan terakhir adalah pada 1916 kopi.
Tanam paksa berhasil menutup defisit dan meningkatkan kemakmuran bangsa Belanda. Sehingga tepatlah ungkapan yang berbunyi “Indonesia adalah gabus tempat mengapung“ bagi Belanda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar